Kisah Para Landheer dan Warisan Sejarah yang Hilang
Sampai penghujung 1980-an, orang-orang yang berjalan dari tepi Jalan Daan Mogot, menyusur Pasar Cengkareng sampai ke Kecamatan Cengkareng, masih bisa melihat bangunan megah tak terurus di sisi kanan jalan.
Bagian depan bangunan, dengan menara di depannya, berada tepat di seberang bioskop Tjengkareng Theatre I. Bangunan membentang sampai ke seberang jalan di depan Kecamatan Cengkareng saat ini.
Seluruh tanah lokasi bangunan di pagar seng, kawat berduri, atau bambu. Entah siapa yang menjaga tanah itu. Yang pasti, beberapa bagian bangunan itu sempat menjadi hunian sementara penduduk, dan bangunan lain dibiarkan kosong, dengan rumput gajah tumbuh subur di dalamnya.
Beberapa bagian bangunan, khususnya jendela dan atap, rusak dan dibiarkan. Tembok bangunan menghitam, sebagian runtuh, dengan bata merah ukuran besar terserak begitu saja.
Orang-orang sekitar menyebut bangunan itu dengan banyak nama. Sebagian mengatakan itu rumah kongsi, kongsi, gedung kongsi, dan entah apa lagi. Kata ‘kongsi’ akan selalu menyertai nama bangunan itu.
Tidak jauh dari rumah besar itu terdapat danau buatan, dengan pohon teratai di atasnya. Ada tiga pohon sengon, penduduk setempat menyebutnya pohon ambom, di bagian danau di tepi jalan.
Sampai pertengahan 1980-an, bagian bawah pohon itu digunakan pedagang loak dan batu cincin. Japar adalah pedagang loak generasi pertama di tempat itu. Bakri, dengan janggut dan brewok putih, mungkin pedagang batu cincin paling populer saat itu.
Malam hari, kawasan itu berubah fungsi sebagai tempat mangkal waria. Jika sedang ramai, lima sampai enam waria mangkal dan menebar aura kepada lelaki yang lewat. Dalam situasi sepi, hanya ada dua waria yang mangkal permanen. Salah satunya bernama Jufri.
Tanah Partikelir Tjengkareng
Cengkareng adalah bagian tak terpisahkan sejarah tanah-tanah partikelir sekujur Batavia. Sejarah yang dimulai di masa awal kejayaan VOC, ketika kongsi dagang Hindia Timur itu menjarah tanah-tanah jauh dari markasnya di Sunda Kelapa sepanjang paruh kedua abad ke-17.
Tanah-tanah sekujur Ommelanden, atau kawasan luar kota Batavia lama, diukur, dipetakan, diberi nama, dan dijual ke investor. Pejabat VOC membeli tanah-tanah itu dengan harga murah, sebagai tindakan spekulasi.
Saat itu perang VOC-Banten masih berlangsung. Ommelanden bukan kawasan aman untuk investor bisnis perkebunan. Dedrick Durven, kelak menjadi gubernur jenderal VOC, tercatat sebagai pemilik pertama tanah partikelir Cengkareng.
Pertanyaannya, bagaimana tanah partikelir itu diberi nama Cengkareng, dan apa arti kata Cengkareng?
Ada dua cara menjawab pertanyaan ini. Pertama, menggunakan teori toponimi. Kedua, dengan melihat tradisi orang-orang Belanda saat itu memberi nama.
Toponimi adalah ilmu tentang penamaan wilayah, tempat, atau permukaan bumi. Orang-orang Belanda memiliki tradisi memberi nama sesuai karakteristik permukaan bumi.
Jika terdapat permukiman atas tanah itu, orang Belanda akan mempertimbangkan kearifan lokal sebelum menentukan nama. Jika tidak, penamaan akan ditentukan oleh tumbuhan dominan di atas tanah itu, atau karakteristik lain yang khas.
Penamaan Cengkareng untuk tanah partikelir diperkirakan terjadi pada dua dekade terakhir abad ke-17, ketika landmeeter memasuki sekujur wilayah sebelah barat Batavia dan memetakannya.
Pemetaan Cengkareng diperkirakan bersamaan, atau pada periode sama, dengan pemetaan Kalideres, Rawa Buaya, Tegal Alur, Kapuk, Kamal, Tanjung Burung, sampai ke tepi Sungai Cisadane.
Setelah pemetaan, landmeeter akan memberi nama setiap bidang tanah dan menuliskannya di peta untuk keperluan pendataan. Cengkareng diperkirakan berasal dari Tjengkarang atau Tjengkaring, tanaman dengan nama latin erythrina corallodendron.
Tjengkarang masih satu keluarga dengan tumbuhan Dadap atau cangkring (Erythrina variegate). Keluarga Dadap yang banyak ditanam sebagai tanaman hias adalah Dadap Merah (Erythrina cristagali).
Arsip botani Hindia-Belanda menyebut tanaman ini dalam kalimat; e bloemknoppen en bloemen Tjengkarang, yang artinya kuncup bunga dan bunga Tjengkarang.
Marten Douwes Teenstra dalam Beknopte Beschrijving van de Nederlandsche overzeesche bezittingen, menulis Tjengkarang tumbuh di Sumatera dan digunakan penduduk untuk obat.
Tjengkareng atau Cangkring adalah tanaman semak berduri. Tanaman ini diperkirakan mendominasi sekujur wilayah yang menggunakan namanya sampai pertengahan abad ke-17.
Evolusi penyebutan dari Tjengkarang menjadi Cengkareng diperkirakan terjadi selama puluhan tahun, dan sebagai akibat penyebutan penduduk lokal.
Sulit membuktikan asumsi ini karena tidak ada bukti tanaman Tjengkarang atau Cangkring yang tersisa. Namun, menggunakan penelitian Prof Leonard Blusse mengenai industri gula Ommelanden, kita bisa menarik kesimpulan bagaimana tanaman Tjengkarang lenyap dari tanah yang menggunakan namanya.
Tahun 1732, saat Gubernur Jenderal Dederiek Durven memperdalam Kali Mookervaart dari Cengkareng ke Pesing, tanah partikelir Tjengkareng disewa Nie Keng Ko selama 27 tahun, dengan harga sewa 2.000 rijksdalder per tahun.
Keng Ko mengubah Tjengkareng menjadi kawasan industri gula, dengan suikermolen (penggilingan tebu yang digerakkan tenaga hewan yaitu sapi) tersebar di atas-nya.
Keng Ko juga menyewakan sebagian tanah Tjengkareng ke industriawan gula asal Bekasi, yang kesulitan bahan bakar untuk memasak gula.
Tjengkareng sepanjang 1730-an, dan diperkirakan sampai 1750-an, adalah kawasan industri gula. Pada periode itulah tanaman Tjengkareng musnah. Keng Ko menebang semua tanaman Tjengkarang, dan tanaman lainnya, untuk memenuhi kebutuhan akan kayu bakar.
Landhuis Tjengkareng
Industri gula di tanah partikelir Cengkareng relatif berhenti setelah tidak ada lagi tanaman yang ditebang untuk menjadi kayu bakar. Kayu bakar yang didatangkan dari wilayah lain menyebabkan biaya produksi sangat mahal, dan harga jual gula sulit bersaing.
Keng Ko diperkirakan meninggalkan Cengkareng, dan menutup suikermolen-nya sekitar tahun 1750. Hendrik van Stocktum, pemilik berikut tanah partikelir Cengkareng, mendatangkan banyak pekerja dari luar untuk mengubah wilayah itu menjadi perkebunan.
Ia mencetak sawah, menanam kelapa, dan tanaman produktif lainnya. Ketika ancaman penyakit influenza mematikan menyebar di sekujur Batavia, Van Stocktum memanggil arsitek Michiel Romp untuk merancang landhuis, atau rumah pedesaan, di tengah Cengkareng.
Tahun 1762, Romp memperindah tanah partikelir Cengkareng dengan sebuah rumah, yang kemudian menjadi identitas wilayah itu. Memasuki abad ke-19, tanah partikelir Tjengkareng dimiliki David Johan Smith, seorang petinggi VOC.
Saat itu tanaman Tjengkareng benar-benar hilang dari ingatan kolektif masyarakat yang menghuni wilayah itu. Sebagai gantinya, bangunan yang dirancang Michiel Romp menjadi ikon. Orang Belanda memberi nama rumah itu Landhuis Tjengkareng.
Sepanjang abad ke-19, Tjengkareng berbilang kali pindah tangan, mulai dari landheer (tuan tanah) Tionghoa sampai perusahaan perkebunan Belanda. Tahun 1931, pemerintah Hindia-Belanda mengakhiri kekuasaan landheer dengan membeli tanah partikelir itu.
Namun, pemerintah Hindia-Belanda memecah tanah-tanah itu dan menjualnya kembali ke sejumlah investor Tionghoa. Lie Kian Tek tercatat sebagai pembeli bagian dari bidang tanah Tjengkareng dengan Landhuis Tjengkareng di atasnya.
Dalam In En Om Batavia, sebuah majalah gaya hidup di Hindia-Belanda saat itu, seorang penulis melaporkan kunjungannya ke sejumlah landhuis di Ommelanden. Landhuis Tjengkareng salah satunya.
Khusus yang satu ini, In En Om Batavia menulis Landhuis Tjengkareng adalah bangunan berarsitektur rumah-rumah bangsawan Prancis era Raja Louis XV. Lie Kian Tek mempertahankan keaslian seluruh bagian rumah. Ia juga membuka toko roti di pinggir Kali Mokervaart, kira-kira di tepi Jl Daan Mogot, di bawah jembatan layang saat ini.
Pertahanan Terakhir TKR
Tidak ada catatan tentang nasib Landhuis Tjengkareng di era Jepang. Lie Kian Tek diperkirakan meninggalkan rumah itu sebelum kedatangan Jepang, dan bermukim di Pasar Baroe.
Setahun setelah Jepang hengkang dan Belanda berusaha kembali menjajah, Landhuis Tjengkareng menghadapi takdir buruk pertamanya. KNIL menyerbu Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pimpinan Letkol Singgih di Pesing dan membantai 70 personel TKR.
Sisa pasukan TKR melanjutkan pertempuran di Basmol dan Kampung Bojong, Rawa Buaya, dan bertahan habis-habisan di Cengkareng. Di sini, Letkol Singgih mendapat bantuan dari Korps Kepolisian Banten pimpinan Kapten Ari Amangku.
TKR dan pasukan Kapten Ari Amangku kalah persenjataan dan terdesak hebat di Landhuis Tjengkareng. KNIL menggunakan artileri berat untuk menggempur pertahanan TKR di Landhuis Tjengkareng.
Landhuis Tjengkareng rusak berat. Sebagian atap bangunan hancur, dan beberapa jendela rusak parah. Namun Landhuis Tjengkareng masih berdiri gagah sampai empat puluh tahun kemudian.
Di penghujung 1980-an, bersamaan dengan pembangunan Jl Outer Ring Road, Landhuis Tjengkareng menemui nasib buruknya. Tergusur, lenyap, dan di atasnya berdiri pertokoan modern.
Cengkareng, setelah kehilangan tanaman khasnya, harus kehilangan landmark dari masa lalu. Cengkareng tidak punya apa-apa, selain status sebagai pemukiman padat pasar.
Tulisan ini dilansir dari Buku Toponimi Jakarta Barat, mengulas tentang asal usul penamaan sejumlah wilayah di Jakarta Barat yang ditulis dan disusun oleh dua jurnalis senior, Teguh Setiawan dan Amin Suciady.
[***]