Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pembelajar Sejarah
Di masa kolonial golongan Kelas Menengah ialah priyayi yang menjadi ambtenar (inlandsch bestuur atau pribumi yang menjadi pegawai pemerintah).
Mereka umumnya hidup terpandang bukan karena kewibawaan membela hak rakyat, melainkan karena harta kekayaan. Masyarakat menyebutnya Ndoro atau Bendoro. Dari akar kata yang sama dengan Bendo atau benda yang kemudian membentuk istilah Bendahara.
Di dalam masyarakat tradisional-feodal salah satu tugas priyayi yang oleh pemerintah kolonial ditunjuk sebagai Volkshoofd (kepala rakyat) ialah menarik pajak dari rakyat.
Dari tugas ini mereka mendapat “komisi” sebagai agen pemerintah kolonial.
Di masa Preangerstelsel dan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dengan hadiah berupa jabatan dan priviledge mereka tampil dalam gaya hidup mewah dan hedonis di tengah derita rakyat. Persis seperti kelakuan para pejabat pada umumnya yang sering kita lihat saat ini.
Sebagai kasta sosial tinggi golongan ndoro priyayi harus memelihara sikap status quo, sehingga fungsinya di dalam masyarakat ialah mengerjakan “apa yang elok, bukan apa yang seharusnya”. Sehingga bukan agent of change.
Tatkala Budi Utomo yang umumnya beranggotakan anak-anak priyayi moderat terpanggil untuk mengemban tanggungjawab sosial kepada masyarakat, golongan kelas menengah priyayi konservatif saat itu khawatir, karena Budi Utomo mengancam kedudukan sosial mereka, sehingga sebagai tandingan mereka membentuk perkumpulan Regenten Bond, Setia Mulia, pada tahun yang sama dengan kelahiran Budi Utomo, 1908.
Salah satu propaganda mereka sebagai kelompok status qou ialah mengejek Budi Utomo sebagai Budi Ulo alias Budi Buruk.
Budi Utomo kemudian menginspirasi lahirnya Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Perkumpulan Kaum Betawi, Timorsch Verbond, Paguyuban Pasundan, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan seterusnya. Para anggota organisasi ini umumnya juga berasal dari keluarga Kelas Menengah.
Dari organisasi pemuda daerah ini kemudian muncul tokoh-tokoh yang menjadi antitesa dari tokoh-tokoh kelas menengah priyayi konservatif kala itu.
Mereka adalah para pembawa perubahan seperti Hatta (Jong Sumatranen Bond), Mohamad Husni Thamrin (Perkumpulan Kaum Betawi) Otto Iskandar Dinata (Paguyuban Pasundan), Latuharhary (Jong Ambon) Leimena (Jong Ambon) Sukarno (Trikoro Darmo) Samuel Ratulangie (Jong Minahasa) dan banyak lagi.
Merekalah yang dalam bahasa Belanda dikatakan sebagai stormram, atau generasi pendobrak. Umumnya adalah tokoh-tokoh erudisi (berpengetahuan luas) yang menempatkan diri sebagai pengemban mission sacre (tugas mulia) memerdekakan bangsa dari penjajahan dan penindasan.
[***]