Artikel ini ditulis oleh Ginola Muhammad Safier, Peserta Sekolah Politik Ubedilah Badrun & Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Belakangan ini, kita sering mendengar fenomena Artis, influencer atau publik figur masuk ke dunia politik, menjadi calon anggota legislatif. Namun, ada pertanyaan yang patut diajukan apakah mereka masuk politik untuk memperjuangkan rakyat?
Pertanyaan itu patut diajukan karena perlu diingatkan bahwa politik sejak kehadiranya pada era Yunani Kuno hakekatnya untuk sejahterakan rakyat banyak, tegaknya keadilan dan kemanusiaan di tengah-tengah masyarakat yang oleh Aries Toteles (322 SM) disebut sebagai common good.
Jika kita membicarakan tentang keadilan, kemanusiaan, hak asasi, demokratisasi, dan kesejahteraan rakyat, hal itu semua sesungguhnya tidak hanya bisa diperjuangkan melalui jalur politik sebab hal-hal kebaikan itu sesungguhnya ada pada intuisi diri yang muncul dari ide dan menjadi realitas ditengah-tengah masyarakat.
Namun, secara manusiawi bahwa setiap manusia memiliki hasrat untuk berkuasa maka pada titik tertentu wajar jika Artis masuk politik, namun sekali lagi dimana letak kepentingan rakyat diperjuangkan?
Sebagian besar artis atau publik figur yang mencalonkan diri sebagai calon anggota dewan memiliki tingkat popularitas yang tinggi. Mereka harus memperjuangkan kesejahteraan rakyat sebagai wakil rakyat.
Namun, perlu diingat bahwa proses yang dilakukan oleh para influencer ini harus sejalan dengan sistem dan tujuan negara dalam konstitusi negara kita. Fenomena artis masuk politik ini perlu diberi ruang kritik agar tidak hanya sekedar bertujuan menaikan prestise ditengah-tengah masyarakat banyak.
Apaalagi faktanya tidak sedikit artis yang tersandung masalah ketika masuk ke arena politik bahkan akhirnya terseret ke dalam kasus korupsi yang merugikan negara dan rakyat. Hal itu bisa dipelajari dari kisah artis masuk politik seperti Angelina Sondakh, Zumi Zola, Mandala Shoji, dan lain-lain.
Fenomena artis yang mendapatkan posisi dalam badan legislatif namun kemudian memilih diam tidak memperjuangkan kepentingan rakyat juga tidak sedikit. Artinya para artis masuk di DPR hanya sebagai pemanis politik yang tidak berarti bagi kebaikan rakyat banyak.
Fenomena itu bisa menjadi semacam ilusi politik bagi rakyat banyak bahwa mereka menyukai seorang publik figur tertentu yang kemudian ketika terpilih menjadi anggota DPR atau kepala daerah ternyata tidak memperjuangan aspirasi rakyat banyak. Bahkan tidak memahami tugas dan fungsinya.
Hal itu bisa jadi karena passion mereka sesungguhnya hanya sebagai artis bukan pejuang, apalagi tidak memiliki pengalaman atau latar belakang organisasi quasi politik yang misalnya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan dari para artis ini adalah kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diembannya sebagai wakil rakyat jika terpilih.
Artis Masuk Politik dan Fenomena Populisme
Partai politik saat ini cenderung menarik perhatian artis dan influencer untuk meningkatkan dukungan suara dari massa atau pengikut mereka yang sering disebut sebagai “fans”. Influencer dan artis biasanya tertarik pada kekuasaan yang dapat membawa manfaat finansial dan popularitas bagi mereka, serta memberi pengaruh pada para pengikut mereka dalam ranah politik.
Bahaya jika partai politik merekrut artis hanya karena bertujuan untuk mendapatkan efek mendulang suara. Artinya Partai terjebak dalam dimensi populisme. Dalam proses demokratisasi, fenomena populisme sering muncul, yang melibatkan kelompok-kelompok tertentu dalam memiliki kesukaan atau kesukaran yang sama, seperti para fansbase yang merupakan pengikut dari influencer tersebut.
Misalnya artis yang memiliki folloer yang banyak lalu atas nama berjuang untuk rakyat mengajak follower-nya untuk memilihnya dan memilih partainya setelah terpilih kemudian rakyat ditinggalkan.
Partai politik memanfaatkan fenomena ini untuk meningkatkan kuantitas dukungan suara pada pemilihan umum atau elektabilitasnya. Namun, hal ini dapat berdampak negatif, karena para pengikut influencer cenderung bersifat radikal atau memiliki kesukaan yang ekstrem dan kurang kritis terhadap tindakan yang dilakukan oleh idolanya.
Tidak semua fansbase berpikir demikian, tetapi kebanyakan dari mereka digunakan sebagai alat populis oleh partai dan elit partai politik. Celakanya artisnya menikmati situasi itu.
Situasi Populisme
Dari adanya fenomena populisme itu penulis menjadi teringat oleh definisi populisme menurut Cas Mudde (Populisme : Very Short Introduction, 2017) yang mengatakan sebagai fenomena subyek politik yang memiliki keinginan untuk berkuasa maka pikiran dan tindakannya diekspresikan pro terhadap rakyat banyak, dan di saat yang sama ia akan secara radikalis menentang dari adanya kekuasaan, dalam hal ini berarti cenderung anti-pemerintah, anti-elit, dan tidak sejalan dengan adanya sistem kepemimpinan yang sedang berlangsung saat itu.
Jadi pada intinya pada teori populisme menganggap bahwa mereka ini memiliki sebuah hasrat berjuang untuk atas nama rakya banyak meskipun kemudian tidak sedikit setelsh berkuasa atau memiliki kekuasaan kembali mengabaikan rakyat. Fenomena populisme itu sering terjadi pada tahun-tahun politik.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi populisme juga banyak dilakukan oleh artis papan atas di luar negeri seperti. Angelina Jolie, Lady Gaga, Kanye West, dan masih banyak lagi. Tidak ada yang salah dengan adanya idiologi populis ini, namun yang perlu kita kritisi dari adanya fenomena ini ialah daya juang dan semangat para artis-artis ini untuk terus berada pada idelismenya “kepentingan rakyat”.
Bukan hanya sebagai kepentingan pragmatis. Sungguh disayangkan juga bahwa banyak dari artis-artis Indonesia yang masuk pada ranah politk, kemudian terjerumus pada kepragmatisan dari adanya kekuasaan itu.Kalau model begitu berpolitiknya, dimana letak rakyat diperjuangkan.
Citra Artis Indonesia
Mengingat dari banyaknya artis atau bahkan influencer yang masuk pada ranah politik citra yang dimiliki harus menjadi daya dorong untuk mengambil simpatisan followers-followers mereka memiliki citra yang terbilang pragmatis.
Saya menjadi teringat penjelasan tentang citra yang dijelaskan Ubedilah Badrun (2018) dalam bukunya menjadi aktivis kampus ketika mengurai pemikiran Jefkins dalam Public Relation (1982). Dengan perspektif itu , penulis mencatat setidaknya ada beberapa citra yang relevan untuk direpresentasikan dengan fenomena artis masuk politik.
Pertama, citra bayangan (mirror image). Citra ini melekat pada diri seseorang yang merefleksikan citra diri dari persepsi orang-orang (fans) kepada dirinya. Sekelompok fans tentunya akan selalu mencerminkan citra atau sikap yang dimiliki dari individu artis yang mereka kagumi dan hal ini akan meningkatkan kepercayaan diri serta harga diri yang dimiliki individu.
Namun pada realitanya juga para artis ini tidak begitu tahu menahu mengenai refleksi fans nya terhadap dirinya, hal ini hanya akan menimbulkan sebuah fantasi kepercayaan diri seorang artis. Citra bayangan bahkan seringkali tidak terjadi secara empirik dalam ranah politik, artrinya tidak selalu pilihan politik sang artis akan diikuti oleh fans nya, namun setidaknya beberapa fans kemungkinan mengikiutinya.
Kedua, citra yang berlaku (current image). Berkebalikan dengan citra bayangan, citra ini berasal dari pandangan fans terhadap idolanya. Dari citra ini juga terdapat kurangnya informasi yang dimiliki fans terhadap kualitas dan kapabilitas dari latar belakang pengetahuan politik yang dimiliki idolanya.
Perlu dikritisi bahwa kualitas seseorang citra individu tidak dapat ditentukan dari citra yang sedang dilakukan oleh para artis ini, akan tetapi kita bisa melihat kualitas artis ini dari pandangan mengenai karakter, nilai, pengalaman hidup, dan yang paling penting latar belakang pendidikan mereka untuk terjun langsung pada ranah politik, kemudian dapat tinjau kembali ialah tujuan dia memperoleh kekuasaan.
Ketiga, citra yang diharapkan (wish image). Dalam konteks masyarakat terhadap artis ini, dapat diartikan sebagai citra atau gambaran ideal yang diinginkan oleh kelompok terhadap individu yang dianggap mampu memenuhi atau mewakili nilai, perilaku, atau penampilan yang dianggap penting oleh masyarakat.
Karena artis tersebut, misalnya dalam dunia hiburan ia memiliki reputasi yang bagus dari cara ia memberikan sesuatu kepada masyarakat. Contoh membangun tempat ibadah, selalu memberikan santunan, membagi-bagikan harta kekayaan kepada orang lain, dan berbagai citra yang dilakukan untuk menambah reputasi mereka.
Citra artis yang kemudian membentuk harapan rakyat kepada artis membuat artis masih laku di Indonesia untuk menjadi anggota DPR meskopun pada akhirnya sang Artis tersebut bisa mengabaikan kepentingan rakyat banyak.
Keempat, citra majemuk (multiple image). Diartikan sebagai citra atau gambaran yang berbeda yang dimiliki oleh individu dalam ruang lingkup sosial yang berbeda-beda. Sebagai contoh, seseorang artis ini akan memiliki citra yang berbeda-beda ketika ia berada di lingkungan sosial masyarakat dan di lingkungan kekuasaan.
Keragaman citra itu membuat segmen pemilih artis akan semakin beragam. Problemnya ketika citra semakin terbentuk di banyak segmen masyarakat telah membuat masyarakat begitu percaya dengan artis meskipun secara empirik tidak semua artis betul-betul bekerja untuk rakuyat. Cita-cita kesejahteraan pada titik tertentu hanya ada pada imajinasi masyarakat saja, sulit untuk merealisasikanya.
Masa Depan Artis Indonesia Di Arena Politik
Pada periode 2019-2024, terdapat kurang lebih 13 artis yang terpilih sebagai anggota legislatif. Pada pemilihan serentak 2024, tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada lebih banyak artis yang mencalonkan diri. Namun, terdapat kritik bahwa sejumlah artis yang telah terpilih pada periode sebelumnya tidak menunjukkan kapabilitas yang cukup dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat, bahkan tidak bersuara ketika terjadi aksi perlawanan mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat banyak misalnya ketika Revisi UU KPK dan menjadikan Perpu menjadi Undang-Undang Cipta Kerja yang merugikan buruh tersebut.
Saya kira menyongsong Pemilu 2024 rakyat harus cerdas dalam memilih caleg maupun di eksekutif yang bukan hanya memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi, tetapi juga memiliki keinginan yang besar untuk memajukan bangsa dan negara yang disebut sebagai kepentingan nasional.
Berpikir dalam pendidikan dan nilai kemanusiaan harus menjadi prinsip dasar bagi para politisi, baik yang sudah terjun maupun yang akan terjun ke dunia politik. Tidak boleh ada pemikiran bahwa kekuasaan adalah segalanya dan rakyat hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Artis yang berpolitik sudah waktunya untuk merubah paradigma berpolitiknya dari sekedar untuk Prestise berubah menjadi berpolitik untuk sejahterkan rakyat banyak, disitulah sesungguhnya motif artis diletakan, Berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
Pada sisi lain atau sebagai rakyat, sudah waktunya menggunakan nalar sebagai senjata untuk tidak terpengaruh oleh ilusi kekuasaan oleh siappaun termasuk oleh artis. Mari bersama-sama membangun negara yang maju dengan akal sehat.
[***]