HUTAN yang lebat semakin sulit untuk dapat ditembus dengan mudah, hanya lorong-lorong jalan bekas Badak Jawa yang sedikit membantu menelusuri jalan menuju puncak, selebihnya kerapatan pohon menjadi dinding hutan yang kokoh.
Di belakang, teman mendakinya tersesat karena keasyikan mengejar macan rembah yang lincah. Menikmati sendiri, akhirnya gunung ini menampakkan keelokannya. Dinding kawah yang gagah, bunga edelweis yang terhampar luas, hingga aliran air jernih mengalir membelah kawasan tegal di atas gunung menjadi simponi pertunjukan orkestra alam yang megah.
Perkenalkan, Gunung Gede-Pangrango pada masa Hindia Belanda. Antara tahun 1809 hingga 1839, di mana badak, macan, burung-burung dan banyak fauna lainnya yang hari ini kita sebut langka, masih hidup bebas di tengah hutan pegunungan Mandalawangi.
Dalam catatan Junghuhn yang ditulis kembali Wormser (1928), jelas sekali tergambarkan bagaimana hutan perawan Gunung Gede-Pangrango masih begitu asri, tanpa gangguan berarti manusia yang secara langsung menjamah hutan.
Jangankan mendapati jalur pendakian, memikirkan pernah ada manusia menjejakkan kaki di puncak dan kawah gunung ini saja rasanya tidak mungkin pada waktu itu. Demikianlah barangkali apa yang terlintas dalam pikiran Junghuhn dan beberapa orang Eropa lainnya pada masa itu.
Artefak Kehidupan Manusia
Alih-alih menjadi pendaki pertama, Junghuhn dan para pendaki Eropa lainnya dikejutkan dengan temuan bekas-bekas kegiatan manusia di kawasan sekitar hutan Gede-Pangrango.
Di sekitar kawah yang baru ditemuinya itu, mereka menemukan patilasan (jejak) berupa batu-batu yang dipercaya sebagai makam nenek moyang masyarakat.
Maka sejak itu, Junghuhn menyakini bahwa beradab-abad sebelum kedatangannya ke Hindia-Belanda, dan menapakkan kaki di puncak Gunung Gede-Pangrango, masyarakat asli wilayah Sunda telah lama berkunjung, mendaki gunung, berkegiatan, serta memperlakukan gunung secara khas sesuai dengan kultur masyarakat Timur.
Tidak hanya berlaku di wilayah Sunda, di beberapa gunung di Jawa dan Nusantara pada umumnya, sebagaimana disampaikan Wormser (1928:2) telah ada tanda-tanda yang nyata, bahwa pernah didaki orang-orang sejak beberapa abad yang lalu.
Seperti Gunung Gede dan Sumbing, di mana di sekitar puncaknya yang keramat, ditemukan tanda-tanda kegiatan manusia, orang Eropa hampir tidak pernah berwisata ke gunung-gunung ini.
“Tidak dapat dimengerti memang,” seloroh Wormser.
Kenyataan tersebut jika kita pikirkan melalui sudut pandang kebiasaan mendaki gunung kita zaman sekarang, barangkali akan memunculkan banyak pertanyaan, seperti; Bagaimana masyarakat lampau melawan suhu udara yang dingin? Bagaimana teknologi pakaian mereka pada waktu itu? Jenis alas kaki apa yang digunakan? Apakah outdoor gear sudah ada sejak zaman pra kolonial? Dan pertanyaan penasaran lainnya.
Baik Junghuhn maupun Wormster keduanya benar, dalam menilai bahwa jauh sebelum mereka datang masyarakat asli Nusantara telah lama memiliki keakraban dan kelekatan hidup dengan gunung-gunung, apalagi kenyataan tentang temuan artefak manusia di pegunungan Papua baru-baru ini sebagaimana telah dipublikasikan oleh beberapa jurnal ilmiah.
Oleh Pepep DW, akademisi STSI Bandung dan Penggiat Jelajah Gunung Bandung (JGB)