KedaiPena.Com -Â Pasca diangkat sebagai Menteri dan Wamen ESDM oleh Presiden Jokowi, Ignasius Jonan dan Archandra Tahar langsung dihadapkan pada tugas besar, khususnya untuk menyegerakan pembahasan Revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral, Pertambangan, dan Batubara (Minerba) bersama dengan DPR.
Menanggapi itu, Anggota Komisi VII DPR RI, Tamsil Linrung, menilai semangat revisi inisiatif DPR tersebut akan tetap memertahankan hilirisasi tambang minerba. Hal itu, nilai Tamsil, sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan sektor minerba, sehingga persoalan hilirisasi tambang minerba menjadi hal yang urgen.
Semangat hilirisasi tambang sektor minerba tengah diupayakan melalui kewajiban pembangunan smelter bagi perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia. Dalam Ketentuan Peralihan UU Minerba Pasal 170 berbunyi : “Pemegang Kontrak Karya sebagaimana dimaksud dalam 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan,” jelas Tamsil di Jakarta, ditulis Kamis (20/10).‎
Tamsil menilai dari ketentuan tersebut terlihat jelas bahwa perusahaan tambang wajib melakukan pemurnian dalam negeri. Dengan kata lain, pintu ekspor untuk mineral mentah (ore) dan konsentrat tambang tidak dibolehkan lagi.Â
“Relaksasi kebijakan ekspor konsentrat untuk beberapa perusahaan tambang yang belum membangun smelter, bertentangan dengan UU Minerba, seperti kebijakan yang diberikan pada PT. Freeport Indonesia yang telah habis izinnya per 8 Agustus 2016, lalu terbit Izin baru sampai 11 Januari 2017. Hal ini tidak sehat untuk iklim investasi tambang di Indonesia,†jelas Legislator PKS dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I ini.
Oleh karena itu, Tamsil menilai pemerintah seharusnya konsisten dan menghormati usaha beberapa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang telah memulai pembangunan smelternya. Ditambah, saat ini pemerintah kembali mewacanakan pembukaan ekspor untuk mineral mentah (ore).Â
“Dalam Undang-Undang Dasar, telah jelas digariskan bahwa sumber daya alam di Indonesia dikuasai oleh Negara, dan bahwa pemanfaatannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, DPR akan terus kawal, karena bagaimana pun juga dengan adanya kewajiban membangun smelter , maka akan lebih banyak manfaat yag kita rasakan, terbukanya lapangan kerja baru dan meratanya pertumbuhan ekonomi,†tegas Tamsil.Â
Menurut Tamsil, kewajiban pendirian smelter berdampak ganda (multiply effect) terhadap banyak hal, misalnya, pembukaan lapangan kerja baru, pengurangan angka pengangguran, pemerataan pertumbuhan ekonomi, khususnya di daerah industri tambang di bagian timur Indonesia yang kerap dianggap tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain.
Para perusahaan tambang yang belum membangun smelter, beralasan karena tidak adanya kepastian perpanjangan kontrak perusahaan dan ketersediaan listrik. Namun, Tamsil menilai hal tersebut tidak bisa dijadikan dasar yang kuat untuk selalu melakukan relaksasi kebijakan.
“Faktanya, sejumlah perusahaan tambang tetap melakukan pembangunan smelter di tengah kendala-kendala yang ada karena kesadaran penuh akan kewajiban ini,†jelas Tamsil.
Diketahui, menurut data dari Kementerian ESDM, hingga awal Juni 2016 telah terbangun 23 smelter dan menyusul 4 smelter lainnya akan diselesaikan sampai akhir tahun 2016. Negara harus memposisikan dirinya sebagai pengatur yang memiliki kuasa (power) untuk mengontrol setiap kebijakan yang dikeluarkan. Jika suatu perusahaan tamban mengalami kesulitan dalam mendirikan smelter, menurut UU Minerba, dapat mengalihkan konsentrat yang dimiliki pada smelter-smelter lain yang sudah berjalan, sesuai dengan ketentuan di Pasal 103 ayat 2.
“Jangan lagi membuka kesempatan eksport ore dan konsentrat,†tegas Tamsil. ‎
(Prw)‎