PARA orangtua kategori imigran digital yang relatif sukses hidupnya secara sosial-ekonomi saat ini, tak sedikit dari mereka dahulunya saat masih berusia anak merupakan anak yang mengalami masa-masa sulit dalam kehidupan sehari-hari. Tak sedikit dari mereka berlatar belakang keluarga pas-pasan, bahkan mungkin serba kekurangan.
Lewat tempaan beragam kesulitan hidup yang dijalani saat kecil, memaksa mereka untuk terus bertahan, hidup ‘merih’, berlatih menyolusi aneka tantangan dan kepahitan hidup sembari memupuk kekuatan diri, serta merintis beragam upaya dalam mengatasi pelbagai permasalahan dan cobaan hidup yang menghadang dengan sabar dan tegar.
Disadari atau tidak, itulah yang kemudian menjadikan mereka terlatih mengembangkan apa yang kemudian oleh Paul G. Stoltz disebut sebagai ‘adversity quotient’ (AQ). Yakni kecerdasaan menghadapi kesulitan hidup, mampu mengubah hambatan sebagai peluang.
Dan AQ inilah yang kini dipandang banyak ahli pengembangan sumber daya manusia sebagai jauh lebih penting ketimbang IQ (intelligence quotient). Dan tentunya AQ itu membutuhkan praktik mengalami sendiri menghadapi aneka tantangan, hambatan, dan kesulitan.
Namun dalam perkembangan lebih lanjut, model orangtua imigran digital yang melalui proses tempaan kesulitan hidup seperti itu, ketika mereka akhirnya menjadi orangtua yang relatif sukses dalam kehidupan, baik secara ekonomi maupun status sosial.
Tak sedikit dari mereka ternyata tidak tega, atau setidaknya tak bersedia menjalankan dan mengembangkan sebuah model pendidikan dalam keluarga bagi anak-anaknya yang dapat berujung pada penguatan AQ anak-anaknya dengan melatihnya lewat stimulus beragam latihan kemandirian, membangun kesabaran disertai ketekunan anak dalam mencari jalan keluar atas tantangan dan kesulitan yang dihadapinya.
‌
Dalam kasus-kasus yang terkonfirmasi pada saya, orangtua berjenis ini sepertinya sejak awal sudah memancang keinginan yang kira-kira begini: jika saja nanti saya sukses melewati segala kesulitan hidup yang saya alami, maka saya tidak akan biarkan anak-anak saya merasakan hidup susah seperti yang saya rasakan. Hidup anak-anak saya harus terfasilitasi, lebih nyaman dan mudah baginya.
Tak sedikit pula orangtua yang memancang keinginan seperti itu akhirnya justru memperlakukan anak-anaknya dengan manja, bahkan mungkin manja yang berlebihan.
Menghindari anak-anaknya dari rangsangan-rangsangan yang mampu membentuknya ke arah kemandirian, kerap mengambil alih apa yang sebenarnya akan lebih baik jika justu dilakukan oleh anaknya sendiri, dan merasa bahwa apapun yang dilakukannya demi kebaikan anaknya tanpa merasa penting sejak awal melibatkan pendapat, perasaan, dan perspektif terdalam dari anak.
Dengan kata lain, masa lalu dari orangtua seperti itu yang penuh kesulitan hidup yang akhirnya berbuah kesuksesan, kemudian hendak “dibalas” kepada anak-anaknya dengan mengupayakan agar anak-anaknya steril dari pelbagai masalah dan kesulitan hidup.
Padahal justru sebenarnya aneka masalah dan kesulitan itulah yang turut menempa otot-otot, pikiran, dan mental para orangtua imigran digital itu yang telah mengantarnya dalam kehidupan yang relatif sukses.
Jika kecenderungan memanjakan anak dan mensterilkan anak dari masalah yang seharusnya dilatih untuk menghadapinya sendiri, ternyata banyak menghinggapi para orangtua imigran digital, lantas bisakah kita membayangkan ke depan akan munculnya generasi tangguh, tahan banting, dan kreatif-solutif atas aneka tantangan dan rintangan yang menghadang?
Bisa pula kah kita membayangkan seperti apa masa depan generasi baru Indonesia nanti jika ternyata kecenderungan memperlakukan anak seperti itu bukanlah cuma para orangtua imigran digital yang telah sukses hidupnya, melainkan juga orang tua imigran digital yang belum sukses hidupnya?
Salam Anak Nusantara
Oleh Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN), Konsultan Keayahbundaan dan Perlindungan Anak