KedaiPena.com – Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar 6,5 persen dinyatakan menjadi penetapan pertama di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang membawa harapan baru di tengah ketidakpastian perekonomian global serta tekanan berat pada industri dalam negeri. Tapi sayangnya, berita positif ini berpotensi tidak akan banyak memberikan dampak positif, di tengah gempuran kebijakan ekonomi yang negatif. Salah satunya adalah kenaikan Pajak Pertumbuhan Nilai (PPN) 12 persen, yang rencananya akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Direktur Lembaga Kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, menyatakan bahwa penetapan kenaikan UMP 2025 ini menandai perubahan arah kebijakan yang berbeda dibandingkan era sebelumnya.
“Jika melihat tren, sejak terbitnya UU Cipta Kerja, pertumbuhan UMP mengalami kejatuhan tajam. Pada 2021, pertumbuhannya hanya 0,57 persen, bahkan di 2022 hanya 1,41 persen, jauh di bawah inflasi yang mencapai 5,51 persen,” kata Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (21/12/2024).
Ia menambahkan bahwa dalam konteks ini, kenaikan 6,5 persen pada 2025 patut diapresiasi meski masih jauh dari pertumbuhan UMP yang progresif seperti pada periode 2013–2016, di mana kenaikan rata-rata mencapai 16 persen.
Data menunjukkan bahwa rerata pertumbuhan UMP antara 2014 hingga 2016 mencapai 14,9 persen per tahun. Namun, sejak 2017, di era Presiden Jokowi, pertumbuhan UMP melemah menjadi sekitar 8,0 persen per tahun. Setelah penerapan UU Cipta Kerja, kenaikan UMP bahkan anjlok, hanya 0,57 persen pada 2021 dan 1,41 persen pada 2022.
Harapan sempat muncul pada 2023 ketika UMP naik 7,26 persen setelah tidak lagi berpedoman pada PP No. 36/2021. Namun, dengan terbitnya Perppu No. 2/2022 yang kemudian menjadi UU No. 6/2023, pertumbuhan UMP kembali tertekan, hanya 3,60 persen pada 2024.
Namun, Yusuf mengingatkan bahwa kebijakan kenaikan UMP ini berpotensi tergerus oleh rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tahun depan, serta berbagai pungutan wajib lainnya seperti potongan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan rencana kenaikan tarif layanan umum seperti Kereta Rel Listrik (KRL).
“Jika rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen serta kenaikan tarif layanan publik seperti KRL dan potongan wajib seperti Tapera tidak dibatalkan, daya beli buruh tetap akan tertekan. Ini berpotensi menambah beban hidup di tengah kondisi ekonomi yang sudah sulit,” ungkapnya.
Ia menambahkan, jika inflasi melonjak ke kisaran 4 persen akibat kenaikan biaya hidup dan potensi kenaikan harga energi serta pangan global, maka efek positif dari kenaikan UMP ini bisa berkurang secara signifikan.
Lebih jauh, Yusuf juga menyoroti tantangan yang dihadapi oleh pelaku industri, terutama sektor padat karya yang banyak bergantung pada ekspor.
“Kenaikan UMP ini, meskipun penting untuk menjaga kesejahteraan pekerja, akan menjadi beban tambahan bagi pengusaha. Banyaknya PHK massal dan perusahaan yang tutup pada 2023 dan 2024 harus menjadi perhatian serius pemerintah,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah perlu memberikan insentif dan perlindungan lebih besar terhadap industri dalam negeri, seperti mengatasi impor ilegal dan dumping yang merugikan pelaku usaha lokal. Juga, pemerintah perlu menjaga pertumbuhan UMP di atas inflasi sebagai langkah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.
“Selama 2021–2024, kenaikan UMP tidak mampu mengimbangi kenaikan garis kemiskinan. Bahkan, selisihnya bernilai negatif sebesar 3,2 persen. Ini menunjukkan kejatuhan kesejahteraan buruh kelas bawah,” paparnya.
Ia menilai bahwa kebijakan UMP yang progresif tidak hanya bermanfaat bagi pekerja bergaji rendah, tetapi juga mendorong perbaikan struktur upah bagi kelas menengah secara keseluruhan.
Terakhir, Yusuf menegaskan bahwa kebijakan UMP yang memadai akan berdampak positif pada perekonomian nasional.
“Peningkatan daya beli buruh akan menciptakan permintaan baru bagi barang dan jasa, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah harus memastikan kebijakan ini diimbangi dengan langkah-langkah perlindungan terhadap industri agar tidak menimbulkan dampak negatif seperti PHK dan penutupan usaha,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa