KedaiPena.Com – Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengusulkan agar pelaksanaan pembangunan semua jenis perumahan baik itu rumah mewah, menengah dan rumah sederhana monitoringnya dilakukan oleh pemerintah provinsi.
Monitoring dilakukan berdasarkan jenis atau kategori rasio rumah terbangun sesuai aturan konsep hunian berimbang, 1:2:3 (rumah mewah; rumah menengah; rumah sederhana).
“Apabila masih banyak terbangunnya kategori ‘3’ atau rumah sederhana untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), di satu propinsi, maka tidak perlu diambil langkah apapun. Artinya masih terjadi kesimbangan secara alamiah,†papar Harry Endang Kawidjaja, Ketua Umum DPP Apersi, dalam keterangan pers yang diterima redaksi, di Jakarta, Minggu (15/10).
Namun apabila data pelaksanaan pembangunan perumahan di propinsi itu menunjukkan bahwa rasio 1:2:3 sudah tidak sesuai kebutuhan, maka sebaiknya pemerintah provinsi perlu melakukan evaluasi terhadap penerbitan izin untuk rumah kategori tertentu.
“Jadi monitoring dilakukan di tingkat propinsi bukan kabupaten/kota sehingga pelaksanaan hunian berimbang itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,†tambahnya.
Agar tercapai rasio keseimbangan tersebut, pemerintah bisa memberikan insentif kepada pengembang yang membangun rumah sederhana. Hal itu sesuai amanat UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, khususnya pasal 34 ayat 4 mengenai insentif yang dapat diberikan pemerintah daerah kepada pelaku, terkait pelaksanaan hunian berimbang.
“Nah, kami mengusulkan pasal itu bisa digunakan sebagai landasan bagi pemerintah untuk memberi insentif bagi pelaku pembangunan rumah kategori 3 (rumah sederhana). Yaitu dengan menggunakan dana dari pelaku pembangunan rumah kategori ‘1’ (rumah mewah) dan kategori ‘2’(rumah menengah) sehingga kemudian tidak membebankan negara,†terang Endang.
Prinsip Dasar pemikirannya adalah untuk memberi ‘extra finansial insentif’ kepada Pelaksana Pembangunan Rumah Bersubsidi. Dananya bersumber dari pelaku pembangunan Rumah mewah dan rumah menengah, sehingga ada jalur kompensasi yang berprinsip subsidi silang.
Mekanisme untuk menjalankan itu bisa dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Sertifikat memBangun Rumah Subsidi (SBRS), bagi setiap unit Rumah Subsidi yang telah akan kredit.
“Misalnya, SBRS ini mempunyai nilai nominal Rp x juta. Nilai itu adalah insentif yang dimaksud sesuai amanat Pasal 34, ayat 4 UU No. 1 tahun 2011. Nilai itu hanya sebagai patokan awal saja, karena sesungguhnya nanti keadaan pasar yang menentukan,†terang Direktur Utama Delta Group itu.
SBRS nanti bisa dijadikan sebagai prasyarat untuk splitzing sertifikat bagi Pengembang Perumahan Komersil, baik yang kategori ‘1‘ maupun yang kategori ‘2 ‘. Jumlah SBRS yang diperlukan dapat ditetapkan 2 atau 3 SBRS untuk Perumahan mewah dan cukup 1 SBRS untuk perumahan Komersil kategori menengah. Adapun penyaluran dananya dapat dilaksanakan melalui internal asosiasi ataupun antar asosiasi.
Jika insentif di atas dilakukan pemerintah, Endang berkeyakinan pengembang rumah komersil kategori 1 dan 2, tidak perlu susah payah membangun rumah subsidi. Pasokan rumah bagi MBR juga akan tersedia cukup, sesuai data hasil monitoring dari pemerintah provinsi.
“Bahkan dengan insentif yang efektif, maka bantuan stimulan PSU mungkin tidak diperlukan lagi. Dengan demikian terjadi pengurangan beban APBN. Atau dana APBN yang ada dapat disalurkan kepada skema lain, seperti perumahan swadaya dan perumahan untuk kelompok MBR berpendapatan formal namun memiliki upah minimum rendah,†pungkasnya.
Laporan: Muhammad Ibnu Abbas