Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Dalam kesaksiannya di Mahkamah Konstitusi, 5 April 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi pernyataan bahwa automatic adjustment atau pemblokiran anggaran di sejumlah Kementerian/Lembaga sebesar 5 persen atau Rp50,15 triliun, sudah dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sri Mulyani merujuk Pasal 28 ayat (1) huruf e, UU APBN No 19/2023 tentang APBN 2024, yang berbunyi: Dalam hal perkiraan realisasi penerimaan negara tidak sesuai dengan target, adanya perkiraan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun Anggaran 2024, kinerja anggaran telah tercapai, dan/atau untuk menjaga keberlanjutan fiskal, Pemerintah dapat melakukan .….. e. penyesuaian Belanja Negara.
Kesaksian Sri Mulyani tersebut, secara eksplisit, menyatakan bahwa pemerintah bisa menyesuaikan, atau mengubah, Belanja Negara kapan saja dan dalam kondisi apa saja, termasuk penyesuaian Belanja Negara pada awal tahun 2024.
Pernyataan Sri Mulyani ini jauh dari kebenaran. Sri Mulyani nampaknya dengan sengaja mengabaikan kalimat awal Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi: Dalam hal perkiraan realisasi penerimaan negara tidak sesuai dengan target….
Terkesan Sri Mulyani sengaja memberi penjelasan yang tidak sesuai fakta, alias berbohong? Sangat mungkin.
Karena, Pasal 28 ayat (1) seharusnya hanya, dan hanya, berlaku dalam hal realisasi penerimaan negara tidak sesuai dengan target, atau di bawah target. Dalam hal ini, penyesuaian atau tepatnya pemotongan Belanja Negara baru dapat dilakukan, baik dengan cara pemotongan secara otomatis (automatic adjustment) atau pemotongan per mata anggaran sesuai kebutuhan dan prioritas, termasuk pergeseran anggaran antarprogram.
Misalnya, di tahun berjalan diperkirakan realisasi penerimaan negara hanya akan mencapai 90 persen dari target, atau kurang 10 persen, maka pemerintah menurut Pasal 28 ayat (1) huruf e dibolehkan memotong anggaran Kementerian/Lembaga masing-masing 10 persen, secara otomatis. Atau, dalam hal ada mata anggaran yang tidak bisa dipotong (karena diprioritaskan), misalnya anggaran pendidikan atau kesehatan, maka bisa dilakukan pergeseran antar program.
Oleh karena itu, automatic adjustment seharusnya tidak bisa dilakukan pada awal tahun, karena realisasi penerimaan negara belum dapat diperkirakan apakah akan sesuai target.
Automatic adjustment yang dilakukan pada awal tahun sebenarnya mencerminkan sebuah kondisi, bahwa ada pengeluaran atau belanja negara yang tidak ada anggarannya di dalam APBN, tetapi harus segera dikeluarkan / dibelanjakan (pada awal tahun).
Oleh karena itu, anggaran yang tidak ada di dalam APBN tersebut harus diambil dari anggaran lain, salah satunya melalui automatic adjustment. Hal mana, berarti terjadi penyimpangan kebijakan APBN, dan dapat diancam pidana penjara dan denda.
Selain itu, dalam menjawab pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah, apakah automatic adjustment juga digunakan untuk Bansos, Sri Mulyani menegaskan bahwa dana dari automatic adjustment tidak digunakan untuk Bansos. Sri Mulyani: “Nampaknya muncul persepsi bahwa automatic adjustment dilakukan untuk membiayai Bansos. Saya tegaskan tidak.”
Pernyataan Sri Mulyani ini sangat mengejutkan karena bertolak belakang dengan pengakuan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada awal Februari, seperti dimuat di berbagai media.
Dalam hal ini, sulit terbantahkan, Sri Mulyani telah memberi pernyataan tidak jujur. Sri Mulyani terindikasi telah berbohong di hadapan Mahkamah Konstitusi dan dihadapan publik Indonesia.
Karena, automatic adjustment juga digunakan untuk Bansos bukan lagi sebuah persepsi seperti disampaikan Sri Mulyani, tetapi merupakan sebuah fakta nyata, seperti pengakuan Airlangga Hartarto secara terbuka di berbagai media.
[***]