KedaiPena.Com – Aktivis pembela HAM dari Manokwari, Eva Tadjo mengungkapkan, sampai saat ini Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) belum memiliki perwakilannya di Papua. Untuk itu, pihaknya mempertanyakan bagaimana mekanisme perlindungan yang dilakukan LPSK bagi saksi dan/atau korban yang berasal dari Papua.
“Apakah LPSK juga memberikan perlindungan bagi masyarakat Papua yang bermasalah dengan perusahaan-perusahaan karena tanah ulayatnya dirampas?,†tanya dia datang ke kantor LPSK di Jakarta bersama sejumlah aktivis dari Papua lainnya, Kamis (14/4).
Mengomentari itu, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, aktivis atau pembela HAM juga bisa mendapatkan perlindungan LPSK. Dengan catatan, ada permohonan yang disampaikan ke LPSK, dan kasus yang melibatkan aktivis atau pembela HAM itu masuk dalam ranah pidana.
Sebab, sesuai mandat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tugas dan fungsi LPSK berada dalam proses peradilan pidana. “Hanya kita (LPSK) kesulitan saat aktivis dikriminalisasi,†ujar Semendawai.
Pada UU Nomor 13 Tahun 2006, kata Semendawai, memang terdapat sejumlah kelemahan sehingga disempurnakan lagi melalui UU Nomor 31 Tahun 2014. Pada UU yang baru, struktur organisasi LPSK diperkuat menjadi sekretariat jenderal yang dipimpin eselon I. Selain itu, UU baru juga mengamanatkan LPSK untuk membuka perwakilannya di daerah. Subyek yang mendapatkan perlindungan juga diperluas, tidak hanya saksi dan korban saja.
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengakui, hingga saat ini, negara memang terkesan masih kurang sungguh-sungguh dalam memfasilitasi lembaga yang memiliki tugas dan fungsi memastikan hak-hak warga negaranya, seperti LPSK. Sebaliknya, bagi lembaga-lembaga lain dimana banyak kepentingan penguasa di dalamnya, cenderung diprioritaskan. “Pemerintah dan DPR masih memiliki persepsi yang berbeda-beda,†ungkap Hasto.
(Prw/Veb)