SRI Mulyani Indrawati alias Ani Alias SMI, wanita kelahiran Tanjung Karang, 26 Agustus 1962 ini memang terbilang sosok yang “narsistik”.
Bagaimana tidak, jabatan menteri di sandangnya sejak era SBY dan era Jokowi walau tanpa prestasi gemilang, SMI hanya pandai berbicara, berpidato, menulis, ngeles, dan sebagainya, namun defisit prestasi kinerja untuk bangsanya.
Sebelumnya ia menjabat konsultan USAID dan executif Direktur IMF dan kemudian kabur dari Indonesia dan menjabat direktur pelaksana Bank Dunia (2010-2016) di Amerika Serikat setelah ramai-ramai kasus skandal Century mencuat.
Bahkan menurut Kwik Kian Gie, sejak sebelum masuk di kabinet SBY, SMI kerap membocorkan hasil rapat tim ekonomi ke IMF, World Bank dan Kedutaan AS. Jadi prestasi SMI tak lebih hanya untuk IMF-World Bank.
Bagi orang-orang yang berfikir linier, bermental inlander, sok gaul, urakan, mengingkari sejarah, tahap demi tahap jejak karier SMI yang selalu duduk di jabatan bergengsi dan strategis itu tentu dianggap sosok hebat dan pahlawan, apalagi dipoles citra Internasional yang bombastis dan lebay semakin membuat gaya narsistic SMI naik berkali-kali lipat.
Pendukungnya pun memuji-mujinya bak dewa dadakan. Wanita hebat yang konon mampu kalahkan Menkeu Cina, Jepang, Malaysia, dan sebagainya tersebut, ternyata di dalam negerinya sendiri ekonomi carut marut dan menanam banyak masalah.
Apalagi di bumbu-bumbui isu gender dan menimpalkan seluruh kegagalan ekonomi pada Presiden Jokowi, nama SMI kian tak terbendung dan target nyalip popularitas Presiden Joko Widodo pada 2019 mendatang diskenariokan mulus bin lancar.
Namun pencitraan sosok SMI tersebut akan mengalami banyak kendala dan tak akan mulus begitu saja sebagaimana yang diskenariokan, pasti akan banyak tokoh-tokoh yang masih waras di republik ini yang akan menyadarkan dan membuka mata semuanya, bahwa sosok SMI adalah sosok yang layak ditolak bersama-bersama.
Bahkan dibuang jauh-jauh bagi mereka yang betul-betul nasionalis, pancasilais, bercita-cita trisakti, bekerja dengan agenda nawacita, sangat mencintai negaranya, berpihak pada rakyatnya, mendamba keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi dan berjuang menegakkan konstitusinya. Mereka pasti menilai SMI tak lebih hanya bagian dari kepanjangan tangan paham neoliberalisme yang dipelopori IMF dan World Bank.
SMI tak lebih hanyalah sosok yang layak dilawan oleh perjuangan rakyat semesta karena telah menempatkan negara dan bangsanya di bawah ketiak agenda IMF dan World Bank. Kehebatan SMI duduk di pos-pos penting jabatan kenegaraan dan lembaga keuangan tidak terlepas dari skenario para pelaku pasar internasional varian IMF dan World Bank dengan perangkap jebakan utang (‘debt trap’).
Pernyataan yang patut direnungkan oleh SMI kalau sekedar ngutang, potong anggaran, uber pajak kelas menengah kebawah, dan cabut subsidi, (SMI) tak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk jadi menteri, bahkan tak perlu ada menteri kalau sekedar ngutang.
Coba lihat dan review kembali, fakta menunjukkan ternyata Kinerja SMI dari periode ke periode memang tercatat memilukan, bahkan sejak era pemerintahan SBY (2004) kinerja SMI justru mewariskan berbagai kegagalan-kegagalan kinerjanya.
Salah satu contohnya adalah membuat utang dengan bunga (yield) obligasi yang tinggi dan termahal, tahun 2008 misalnya, pemerintahan Indonesia di bawah kendali tim ekonomi SMI menerbitkan global bond di New York (AS) sebesar US$2M dengan tenor 10 tahun, bunganya (yield) sebesar 6,95% dan tertinggi se-ASEAN.
Dan pada tahun 2009 SMI kembali menerbitkan global bond sebesar US$3M, terbagi dalam dua skema, yakni US$2M berjangka 10 tahun dengan bunga 11,75%, dan US$1M berjangka 5 tahun dengan bunga 10,5%. Padahal sebelumnya masih ada beban utang BLBI yang bunganya saja Rp60 triliun per tahun hingga masih harus dibayar puluhan tahun kedepan yang nota bene skandal BLBI tersebut adalah resep IMF ketika terjadi krisis ekonomi 1997-1998.
Inilah salah satu dosa besar sejarah SMI dengan menjebak bangsanya sendiri dengan hutang.
Terseok-seoknya pemerintahan Jokowi saat ini hingga terlihat tak berkutik dalam menghadapi gejolak ekonomi dan utang yang begitu tinggi tak terlepas dari warisan tim ekonomi era SBY yang waktu itu di bawah kendali SMI.
Bahkan dalam APBN 2017 ini saja porsi belanja negara dalam urutan pertama dialokasikan untuk bayar utang pokok plus bunganya sebesar Rp.486 triliun. Sebuah kebiasaan SMI sejak era SBY.
Tragis ketika jejak SMI meninggalkan banyak catatan kegagalan justru dipakai lagi untuk menyelesaikan problem-problem perekonomian, bukankah itu cara mengatasi masalah dengan orang yang bermasalah?
Jika dibandingkan dengan era pemerintahan Gus Dur (1999-2001), era pemerintahan SBY (2004-2014) dan Jokowi (2014-2019) jelas terlihat sangat timpang prestasi pengelolaan ekonominya.
Di era Gus Dur, pemerintahan waktu itu yang masih dalam kondisi krisis justru mampu mengurangi utang hingga US$4.15M dan di satu sisi pertumbuhan ekonomi juga naik dari minus 4,5% ke positif 4% dengan diantaranya menjalankan kebijakan revaluasi asset, sekuritisasi aset untuk menumbuhkan ekonomi, ‘debt swapt’, restrukturisasi utang untuk mengurangi utang.
Sementara di era SBY, selama SMI pegang kendali atas tim ekonomi, utang pemerintah justru naik US$ 158,8M, sementara pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 4%-6%, itupun karena diuntungkan dengan booming harga-harga komoditi (perkebunan dan pertambangan) dipasaran internasional, jadi bukan karena prestasi tim ekonomi SMI waktu itu.
Faktanya ketika era ‘booming’ harga-harga komoditi mulai menyusut sejak 2010, ekonomi RI goncang tak karuan, tumpukan warisan masalah kian mengkhawatirkan.
Di Era SBY mewariskan banyak permasalahan ekonomi yang pernah dibongkar begawan ekonomi Dr. Rizal Ramli, diantaranya mewariskan empat defisit (‘quarto defici’t) yakni ‘trade’, BOP, CA, ‘budget’).
Defisit neraca perdagangan (balance of trade) atau defisit neraca ekspor-impor sebesar US$6M pada 2013 (impor lebih besar dari ekspor). Padahal di awal era SBY pada 2004 neraca perdagangan masih US$ 32M.
Selain itu juga defisit neraca transaksi berjalan (‘current account deficit’) US$6,6M yang disebabkan nilai ekspor lebih rendah dari impor sehingga menekan kurs nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Kemudian defisit neraca pembayaran US$9,8M dan defisit APBN. tragisnya lagi di era SBY melalui SMI yang menumpuk banyak utang tersebut ternyata minim pembangunan infrastruktur, birokrasi pun lamban dan banyak kasus-kasus korupsi besar.
Indeks ketimpangan di era SBY pun cukup tinggi yakni yang awalnya 9,33 ditahun 2004 naik menjadi 0,43 ditahun 2014
Diakui atau tidak, pemerintahan SBY di bawah kendali tim ekonomi SMI yang mengelola ekonomi ala Bank Dunia dan IMF telah mewariskan kesulitan-kesulitan kondisi perekonomian yang cukup besar dan serius bagi pemerintahan Jokowi saat ini.
Apalagi reformasi birokrasi yang dijalankan SMI waktu itu juga gagal, padahal kebijakan tersebut menggunakan dana utang.
Berbagai kegagalan kinerja SMI waktu era SBY dan berdampak sampai saat ini memang sering disangkal para pemujanya, mereka beralasan ekspektasi dan kepercayaan pasar internasional sangat baik waktu itu.
Padahal justru itu pujian-pujian pasar internasional sangat tendensius karena memang kebijakan SMI waktu itu sangat menyenangkan ‘funds managers’ asing, IMF, World Bank, ADB, dan sebagainya.
Sementara rakyat dan negaranya terus sengsara tergopoh-gopoh mengatasi gejolak ekonomi yang terjadi, seperti menurunnya daya beli, ketimpangan, defisit neraca perdagangan, dan sebagainya. Lalu dimana hebatnya SMI? Kenapa di pakai terus? Rakyat pasti bingung.
Oleh M. Khabib, Analis Ekonomi Politik