Catatan: Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah
SOEHARTO yang oleh O. G. Roeder, digambarkan sebagai The Smiling General, karena selalu tersenyum memperlihatkan keramahan, masa kecilnya ternyata penuh kontroversi.
Dalam beberapa narasi dikisahkan ia lahir dari keluarga broken home dan kurang kasih sayang.
Suatu hari, seperti dikisahkan oleh Ramadhan KH, di buku Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto mengaku nelangsa gara-gara baju lebaran.
Pakaian baru untuk hari raya yang sudah dikenakannya harus dilepasnya, karena ternyata sang eyang membelikan pakaian itu bukan untuknya.
“Saya merasa nista (hina). Saya nelangsa, sedih sekali. Waktu itu saya merasa, wah hidup ini kok begini. Saya pikir, kami sama-sama cicitnya, tetapi diperlakukan lain. Mas Darsono sudah mempunyai baju, sedangkan saya belum …”.
Sebagai penyusun autobiografi Soeharto Ramadhan KH mengaku Soeharto sangat sedikit mengungkapkan soal perasaan, namun rupanya Soeharto tak dapat melupakan kejadian yang dianggapnya sangat menyakitkan itu.
Tahun 2001 terbit sebuah buku tentang analisis kejiwaan Soeharto yang disusun psikolog UI, berjudul Soeharto: Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat.
Di salah satu bab buku yang ditulis Bagus Takwin, Niniek L Karim, dan Hamdi Muluk itu disebutkan “Soeharto Sebagai Kasus Langka Dalam Kajian Psikologi Politik”.
Masa kecil yang liat, sulit, dan kurang kasih sayang menyebabkan ketika berkuasa Soeharto sangat protektif sekaligus permisif terhadap anak-anaknya. Ketika awal 1970-an putra-putri Cendana mulai terjun ke dunia bisnis Soeharto membiarkan.
Ia marah dan mendeportasi wartawan Sydney Morning Herald, David Jenkins, yang menulis artikel After Marcos, Now for the Soeharto Billions.
Nama-nama keluarga dan kerabat Cendana ditulis satu per satu di artikel itu. Ibu Tien disebutnya “Ibu Tien Persen”. Sedangkan Liem Sioe Liong sebagai cukong besar, dan diulas pula sepak terjang bisnis Sigit, Bambang, Tutut, Tommy, dan adik Soeharto, Probosutedjo.
Kritik dan cercaan mengenai keserakahan dan nepotisme bisnis ini kala itu juga datang dari masyarakat. Termasuk dari sejumlah kolega Soeharto yang merupakan para purnawirawan jenderal Angkatan ‘45.
Di antaranya dari bekas Pangdam Brawijaya/Wakasad Letjen M Jasin yang mengecam pembangunan lahan peternakan milik Soeharto di Tapos, Bogor, praktek bisnis anak-anak Cendana yang dari waktu ke waktu kian menggurita, dan pertikaian fisiknya dengan Kepala Bulog saat itu, Bustanil Arifin, yang beristrikan kerabat dekat Ibu Tien.
Apa bedanya anak-menantu Soeharto dengan anak-menantu Jokowi dalam bisnis dan politik ?
Dalam waktu sekitar tujuh tahun jadi presiden anak-mantu Jokowi langsung menguasai bisnis dan politik.
Gibran sang anak jadi walikota Solo. Sedangkan Bobby sang menantu walikota Medan. Belakangan muncul pula wacana memproyeksikan Gibran jadi gubernur Jakarta, sedangkan Kaesang digadang-gadang untuk menempati posisi walikota Solo.
Tak tanggung-tanggung aset bisnis kedua anak lelaki Jokowi ini langsung pula mencapai ratusan miliar. Tajir melintir, kata istilah ABG zaman sekarang.
CNBC Indonesia online, misalnya, menyebut bisnis tersebut bergerak di sektor makanan dan minuman hingga fashion. Antara lain Sang Pisang, Hompimpa Gamers, Sang Javas, Ternakopi, Madhang, Siap Mas, Mangkokku, Chili Pari, Markobar, Goola, Pasta Buntel, IColor, Mommilk, Yang Ayam, dan lainnya.
Tidak jelas benar apakah produk-produk ini laku dan disukai oleh masyarakat.
Esensinya praktek KKN dinasti Jokowi ternyata lebih ganas dan merusak dibandingkan dengan dinasti Soeharto.
Berbeda dengan anak dan menantu Jokowi, anak-anak Soeharto setelah membangun kerajaan bisnis baru memasuki lapangan politik.
Tutut dan Bambang Trihatmodjo masuk jadi pengurus pusat Golkar kurang lebih setelah duapuluh lima tahun Soeharto berkuasa.
Tutut sempat jadi menteri sosial sekitar tiga bulan, yaitu Maret 1998 hingga 21 Mei 1998, setelah mendekati 32 tahun Soeharto berkuasa, sebelum akhirnya Soeharto dijatuhkan oleh kemarahan dan rasa muak rakyat yang menginginkan perubahan yang lebih baik.
Tidak sedikit yang berkata bahwa dinasti politik yang di dalamnya bercokol nepotisme adalah suatu hal yang biasa, karena terjadi juga misalnya di Amerika Serikat (seperti berkuasanya klan Kennedy, Bush, atau Donald Trump), di India, Pakistan, dan beberapa negara lain.
Bedanya dengan disini, dinasti politik dan nepotisme di sana umumnya lebih terkontrol karena adanya pengawasan dan penegakan rule of law, DPR-nya berfungsi, pers-nya melakukan tugas jurnalisme secara benar sebagai salah satu pilar demokrasi, aparatur keamanannya bukan bagian dari mafia, lembaga-lembaga anti korupsinya tidak tebang pilih, selain itu secara umum masih adanya standar moral dan standar etika yang dipegang oleh para pemangku jabatan.
Disini dinasti politik dan nepotisme berkembang subur lebih karena watak aji mumpung, rakus dan serakah, serta adanya mentalitas terabas yang mengesampingkan rasa malu.
Dinasti politik dan nepotismenya juga bersumber dari mentalitas feodal yang berkelindan dengan kolonialisme yang paralel dengan penjajahan dan penindasan.
(*****)