KedaiPena.Com – Antropolog Universitas Sumatera Utara (USU), Fikarwin Zuska berpendapat, ada sentimen etnik dalam kerusuhan yang terjadi di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara.
“Ada sentimen etnik, dan ini dari dulu. Jadi sedikit saja dibakar, ya udahlah jadilah,” kata Fikarwin saat dihubungi KedaiPena.Com melalui selulernya, Sabtu (30/7).
Menurut Fikarwin, usaha-usaha agar terjadi bentrok antar etnis di Indonesia, khususnya dengan etnis keturunan memang belakangan terus menguat dan cepat memicu kerusuhan antar kelompok masyarakat. “Dan itu (sentimen etnis) memang gampang memprovokasi,” katanya.
Padahal kata Fikarwin, masyarakat Indonesia tak boleh mengingkari dirinya yang memang terdiri dari perbedaan-perbedaan dan banyak suku bangsa yang beragam.
“Tidak bisa di ingkari, (perbedaan dan keberagaman) itu memang alamiah, given, mana bisa diingkari, cuma manusia mengkrostuksi hubungan-hubungan itu, dan itu naik turun, setara dengan politik, ekonomi,” kata Fikarwin.
Menurut ia, paska konflik yang terjadi di Tanjung Balai, secara jangka panjang harus ada pendidikan yang multikultural sejak dini.
“Jangka panjangnya, harus ada pendidikan multikultural, di sekolah, sejak dini, jadi jangan orang ter-segregasi (terpisahkan) oleh agama, ini kan rajin kali sebentar-sebentar (SARA), jadi itu memicu pertengkaran, pertentangan dan konflik. Semakin keras, semua merasa dirinya paling benar. Dan sudah seperti wakil Tuhan,” kata Fikarwin.
Diberitakan sebelumnya, amuk massa masyarakat Islam khususnya kaum pemuda itu dipicu kemarahan terhadap Meliana (41), warga jalan Karya Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Kota Tanjung Balai.
Meliana yang merupakan etnis Tionghoa beragama Buddha itu menegus Nazir Masjid Almakshum yang berada di jalan Karya. Meliana, meminta agar Nazir masjid mengecilkan volume Microphone Masjid.
(Dom)