Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Penundaan pembayaran manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) memicu ketidakpastian hukum. Bayangkan, uang Tabungan ‘Hari Tua’ milik para Pekerja tiba-tiba tidak bisa diambil, sampai umur 56 tahun.
Kata ‘Jaminan’ di sini sebenarnya kurang tepat. Karena memang tidak ada yang dijamin (oleh negara). Kata yang tepat seharusnya Tabungan Hari Tua. Seperti dijelaskan secara tegas di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 33 tahun 1977, sebagai aturan pelaksana dari UU No 14 tahun 1969 mengenai Tenaga Kerja. Pasal 1 butir 14 berbunyi “Tabungan Hari Tua adalah bentuk tabungan wajib …..”.
Kemudian, Pasal 32 ayat (1) PP No 14 Tahun 1993 menjelaskan, Pekerja yang berhenti kerja sebelum usia 55 tahun dan mempunyai masa kepesertaan serendah-rendahnya 5 (lima) tahun, dapat menerima manfaat Jaminan Hari Tua secara sekaligus.
Hal ini diperkuat oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 19 tahun 2015. Manfaat Jaminan atau Tabungan Hari Tua dibayarkan pada saat pensiun (dalam arti luas). Maksudnya, definisi pensiun juga termasuk yang berhenti bekerja. Baik yang mengundurkan diri atau yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), atau pindah ke luar negeri.
Hal ini mencerminkan semangat dan jiwa program Jaminan (atau Tabungan) Hari Tua sejak era Orde Baru tahun 1993 hingga awal Februari 2022. Sebelum “diberangus” oleh Permenaker No 2 tahun 2022, tentang tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat Jaminan Hari Tua.
Peraturan Jaminan Hari Tua sejak 1993 sangat logis dan tepat. Karena program Jaminan Hari Tua bukan program Pensiun. Tetapi program untuk menjamin ketika Pekerja tidak mempunyai pekerjaan lagi. Sedangkan ‘Hari Tua’ adalah hari di mana seseorang kehilangan pekerjaan, baik karena masuk usia pensiun maupun alasan lainnya.
Oleh karena itu manfaat Jaminan Hari Tua dibayarkan sekaligus, agar dapat digunakan antara lain untuk modal usaha ketika Pekerja kehilangan pekerjaan.
Sedangkan program Jaminan Pensiun yang diberlakukan sejak tahun 2011 (UU No 24/2011) merupakan program untuk mempertahankan pendapatan (bulanan) Pekerja ketika masuk masa pensiun dan kehilangan pendapatan bulanan.
Karena itu, manfaat Jaminan Pensiun dibayarkan secara bulanan, seperti seolah-olah Pekerja menerima gaji atau upah, meskipun sudah tidak bekerja lagi, sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Untuk tujuan ini, manfaat Jaminan Pensiun hanya boleh dibayarkan pada usia pensiun, dan tidak boleh sebelumnya, sudah sangat tepat.
Dengan adanya program Jaminan Pensiun maka tidak tepat kalau pembayaran manfaat Jaminan (Tabungan) Hari Tua ditetapkan seperti program Jaminan Pensiun, dibayarkan pada usia 56 tahun. Hal ini tidak menjadi masalah selama Pekerja bekerja hingga masa pensiun. Tetapi akan menjadi masalah besar kalau Pekerja kehilangan pekerjaan di usia yang tidak muda lagi, dengan alasan apapun, dan yang bersangkutan sulit mendapat pekerjaan lainnya.
Untuk itu, uang Jaminan (Tabungan) Hari Tua seharusnya bisa digunakan, misalnya untuk modal usaha. Agar Pekerja tersebut dapat memperoleh penghasilan bulanan, sampai masa pensiun. Dari penghasilan ini, yang bersangkutan juga bisa melanjutkan pembayaran iuran pensiunnya, untuk menjamin pendapatan di masa pensiun nanti.
Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Peraturan yang berlaku sangat baik sejak 1993 dihapus. Pembayaran manfaat Jaminan (Tabungan) Hari Tua yang sebelumnya boleh diambil ketika Pekerja kehilangan pekerjaan malah dihapus. Tentu saja ini menjadi beban bagi Pekerja.
Karena itu, Permenaker No 2 tahun 2022 ini terasa aneh, dan sewenang-wenang. Karena sekonyong-konyong menghapus peraturan yang sudah berlaku sejak 1993. Padahal uang tersebut milik Pekerja. Tidak ada
[***]