Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
KONSTITUSI merupakan kesepakatan bersama antar rakyat yang mengatur prinsip-prinsip dasar politik dan hukum sebuah negara dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konstitusi mengatur wewenang dan tanggung jawab lembaga Eksekutif (Pemerintah), Legislatif (DPR) dan Yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi).
Konstitusi mengatur hubungan antar lembaga tersebut, termasuk mengatur perimbangan kekuasaan antar eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Konstitusi juga mengatur hubungan antara pemerintah (presiden) dengan rakyat, serta mengatur kewajiban pemerintah dalam memberikan perlindungan hak-hak dasar kepada rakyat.
Semua pihak, eksekutif, legislatif dan yudikatif, wajib taat konstitusi, untuk mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis dan berdaulat.
Konstitusi Indonesia diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang sudah mengalami perubahan sebanyak empat kali selama periode 1999-2002.
Presiden (pemerintah) mempunyai tugas konstitusi untuk melaksanakan roda pemerintahan secara adil bagi semua lapisan masyarakat.
Dalam menjalankan tugasnya, presiden (pemerintah) wajib taat kepada konstitusi. Presiden tidak boleh bertindak melampaui wewenang yang diberikan konstitusi.
Presiden tidak boleh merampas hak rakyat, presiden tidak boleh merampas wewenang lembaga lainnya: DPR, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi.
DPR mempunyai tugas konstitusi untuk mengawasi presiden (pemerintah) agar selalu taat konstitusi, termasuk menyetujui dan mengawasi keuangan negara (APBN).
Selain itu, DPR bersama pemerintah mempunyai tugas dan wewenang membuat undang-undang untuk kepentingan masyarakat luas, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu, kelompok oligarki. Semua undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi wajib batal.
Misalnya, PERPPU Cipta Kerja, UU IKN, UU Pemilu terkait presidential threshold, penundaan pemilihan kepala daerah dan penunjukan penjabat kepala daerah, UU tentang KPK yang menghapus independensi KPK, Perppu “Corona” No 1 Tahun 2020 yang disahkan menjadi UU No 2 Tahun 2020, penetapan APBN melalui Peraturan Presiden, terindikasi bertentangan dengan konstitusi.
Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas konstitusi untuk memastikan undang-undang yang berlaku tidak melanggar konstitusi. Dalam hal undang-undang melanggar konstitusi, Mahkamah Konstitusi wajib menyatakan UU tersebut inkonstitusional: batal.
Dalam menjalankan tugas ini, Mahkamah Konstitusi harus bertindak independen untuk kepentingan masyarakat luas. Mahkamah Konstitusi tidak boleh memberi pendapat subyektif, seperti pada kasus uji materi PERPPU “Corona” No 1 Tahun 2020, UU Cipta Kerja (dengan putusan inkonstitusional bersyarat), UU Pemilu presidential threshold dengan pendapat bisa memperkuat sistem presidensial, dan mungkin masih banyak lainnya.
Semua pihak, eksekutif, legislatif dan yudikatif, wajib menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai konstitusi.
Kalau presiden melanggar konstitusi, DPR sebagai pengawas eksekutif wajib menegur, memberi koreksi, atau dalam hal tertentu, DPR wajib mengusulkan pemberhentian presiden kepada Mahkamah Konstitusi.
Kalau DPR melanggar konstitusi, termasuk membiarkan presiden melanggar konstitusi, maka partai politik wajib memberhentikan anggota DPR pelanggar konstitusi tersebut.
Kalau partai politik melanggar konstitusi, termasuk membiarkan anggotanya melanggar konstitusi, maka rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi bisa mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk membekukan atau bahkan membubarkan partai politik tersebut.
Kalau Mahkamah Konstitusi melanggar konstitusi, memutuskan perkara uji materi dengan melanggar konstitusi, membiarkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi tetap berlaku, maka kondisi ini mencerminkan negara sudah dikuasai tirani.
Eksekutif, legislatif dan yudikatif secara bersama-sama melakukan persekongkolan untuk melakukan pelanggaran konstitusi, dimotori oleh partai politik, sehingga menghasilkan rezim otoriter tirani yang menjalankan roda pemerintahan dengan menggunakan peraturan dan hukumnya sendiri, yang bertentangan dengan konstitusi: memerintah secara ekstra konstitusional.
Karena jalan atau proses untuk merebut kedaulatan rakyat dari pemerintahan tirani tidak diatur di dalam konstitusi maka, yang umumnya terjadi di seluruh dunia, rakyat harus merebut kedaulatannya dengan cara paksa, melalui ekstra parlementer, ekstra konstitusional.
Mungkin ini hanya jalan satu-satunya yang tersedia untuk menegakkan demokrasi dan menyelamatkan konstitusi dari tirani. Karena tirani akan terus melanggengkan kekuasaannya melalui “putra mahkota” yang akan meneruskan pemerintahan tirani tersebut, yang akan membuat rakyat menderita berkepanjangan.
[***]