KedaiPena.Com – Dunia intelijen Indonesia tak bisa dilepaskan dari nama Zulkifli Lubis. Sebab, Zulkifli Lubis merupakan peletak dasar intelijen di bumi pertiwi.
Zulkifli Lubis yang lahir pada 26 Desember 1923 di Kutaraja sekarang lebih dikenal sebagai Banda Aceh merupakan anak kelima dari 10 bersaudara.
Sepak terjang di dunia intelijen yang tak usah diragukan lagi. Hal itu lantaran Lubis mempunyai pemikiran bahwa setiap gerakan apapun, keberadaan intelijen dibutuhkan.
Hal itu pula yang membuat Lubis mendirikan Badan Istimewa (BI) pada Agustus 1945. Lubis merekrut sekitar 40 orang bekas perwira Gyugun atau yang biasa disebut angkatan darat Jepang dari seluruh Jawa.
Lubis sendiri turut melatih semua perwira tersebut untuk praktek intelijen terutama untuk informasi, sabotase dan psywar.
Perwira tersebut nantinya juga diarahkan untuk mengumpulkan informasi dari pihak musuh dan luar serta mengadakan psywar.
Pada akhir 1945 Lubis juga memimpin sebuah operasi untuk melawan Belanda. Salah satu operasinya adalah menyelundupkan senjata dari Singapura untuk membantu perjuangan di Kalimantan.
Tak hanya itu, Lubis juga turut membentuk Penyelidik Milliter Chususb (PMC) pada akhir 1945 yang berada di bawah BI.
Menurut Robert Cribbb dalam Gangstres and Revolutionaries, Lubis membentuk PMC lantaran telah terlibat dalam rencana Jepang untuk membangun kelompok-kelompok bawah Yamaha di sejumlah wilayah di Jawa sebagai kekuatan gerilya untuk melawan sekutu.
Zulkifli Lubis melakukan perjuangan untuk dengan membentuk organisasi intelijen demi kontra-kontra intelijen para penjajah. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang terjadi saat ini.
Meski, dalam akhir hayatnya nama Lubis tercoreng lantaran diduga menjadi dalang dari peristiwa Cikini yang merupakan operasi untuk membunuh Soekarno kala itu.
Namun demikian nama, Zulkifli Lubis tetap layak disematkan sebagai Bapak Intelijen Indonesia, lantaran ialah peletak dasar lembaga intelijen negara Indonesia. Ia menggunakan teknik intelijen dalam kerangka kepentingan nasional, mewujudkan Indonesia merdeka.
BIN dan Polemik #2019GantiPresiden
Polemik penolakan kehadiran Neno Warisma beserta massa aksi gerakan #2019GantiPresiden di Pekan Baru, Riau, beberapa waktu lalu menyeret Badan Intelijen Negara (BIN) di bawah pimpinan Budi Gunawan.
Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Provinsi Riau Rachman Hariyadi terekam sempat emosi ketika pemulangan secara paksa pegiat #2019GantiPresiden Neno Warisman di Bandara SSK II Pekanbaru.
Namun BIN membantahnya. Melalui Juru Bicara Kepala BIN, Wawan Hari Purwanto menyatakan rencana kehadiran Neno ke Riau dalam acara Tour Musik bertajuk “#2019 Ganti Presiden” telah menuai pro dan kontra. Sementara, pihak Kepolisian Daerah Riau juga tidak memberikan izin atas acara tersebut.
Menurut Wawan, BIN bertugas menjaga marwah konstitusi, demikian juga dengan BIN Daerah (Binda) bertugas untuk tetap menjaga tegaknya aturan dan ketertiban di daerah.
“Tatkala ada pengajuan izin bahwa Neno Warisman mau berkunjung dan memberikan orasi dalam acara musik tersebut, dan ternyata tidak mendapatkan ijin, maka Binda dan aparat keamanan setempat wajib menjaga tegaknya wibawa aturan tersebut,” kata Wawan dalam keterangan tertulisnya.
Wawan Purwanto memastikan tidak ada intimidasi yang dilakukan terhadap salah satu penggerak gerakan #2019GantiPresiden, Neno Warisman saat dipulangkan dari Pekanbaru. Menurut Wawan, yang ada hanya imbauan agar tak meneruskan acara karena saat itu kondisi sudah tak kondusif.
“Dalam kondisi lelah karena berjaga 24 jam, bisa saja orang jadi emosi, cape, akhirnya ada gesekan, gampang marah. Tapi itu risiko sebuah tugas di lapangan maupun pemantau,” ujarnya.
Lantaran itu, jika ada kesalahan dalam penanganan pembubaran aksi #2019GantiPresiden di Pekanbaru, Riau, pihaknya meminta maaf. Hal itu dilakukan semata-mata untuk mencegah bentrok dan korban.
Mengomentari itu, Partai Gerindra sendiri melalui Sekjen Ahmad Muzani mengatakan tindakan yang dilakukan oleh BIN dengan memulangkan Neno Warisman sebagai tindakan intel Melayu.
“Ya itu namanya intel melayu,” ujar Muzani di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Muzani menyebut penolakan massa terhadap Neno yang berujung pemulangan paksa merupakan tindakan yang menggelikan. Ia menyebut Indonesia seperti bukan negara demokrasi saat ini.
Seharusnya, gerakan yang ingin Presiden Joko Widodo lanjut dua periode dan ganti presiden harus mendapat perlakuan yang sama. Seharusnya aparat kepolisian menjaga Neno agar tidak dihadang massa.
Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedillah Badrun mengatakan bahwa cara aparat tepatnya BIN dalam menghentikan gerakan #2019gantipresiden adalah cara yang mirip dengan rezim otoriter yang takut kehilangan kekuasaan.
“Mirip seperti cara rezim era Orde Lama menghadapi kelompok oposisi. Ini kemunduran demokrasi,†ujar Ubed saat dihubungi oleh KedaiPena.Com, Kamis (30/8/2018).
Ubed mengatakan BIN sedianya harus kembali ke khitahnya sebagai alat Negara bukan alat kekuasaan seperti apa yang dilakukan oleh Zulkifli Lubis saat masa kemerdekaan.
“Maka seharusnya BIN bertindak mengutamakan kepentingan negara, kepentingan nasional, bahwa kepentingan negara dalam konteks menjelang pemilu 2019 adalah turut menciptakan rasa aman di tengah-tengah rakyat, memberi ruang kesempatan rakyat berekspresi dengan damai,†tutur Ubed.
Terpisah, Pro Demokrasi (Prodem) melalui Sekjennya Satyo P berpendapat, apa yang dilakukan oleh BIN merupakan tindakan ‘abuse of power’.
“Gerakan tagar #2019GantiPresiden sama halnya dengan gerakan kritis lainnya dalam penyampaian aspirasi. Setiap gerakan dalam menyampaikan aspirasi atau pendapat dibolehkan dan diatur oleh UU,†imbuh Satyo.
Dengan demikian, lanjut Satyo, BIN telah melakukan tindakan politik kekuasaan. BIN tidak melakukan kerja-kerja yang sesuai dengan tupoksi sebenarnya.
“BIN sudah menjalankan politik kekuasaan bukan politik negara. Saya pun sangat kecewa. karena sebagai bangsa belum sanggup menjalankan tata negara yang benar,†tandas Komeng panggilan akrabnya.
Laporan:Â Ricki Sismawan