BARU-baru ini terjadi sebuah peristiwa yang cukup menyita perhatian masyarakat, yaitu pemberian kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) oleh Ketua BEM Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa pada acara Dies Natalies UI ke-68.
Hal ini terjadi pada Jumat, 02 Februari 2018 di Balairung UI. Dalam jumpa pers setelahnya, Ketua BEM UI Zaadit Taqwa menjelaskan bahwa aksinya merupakan bentuk kritik terhadap pemerintahan rezim Jokowi atas beberapa masalah yang belum selesai dan harus dikerjakan oleh rezim saat ini.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa jika nantinya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) -disahkan oleh DPR dan Pemerintah, tindakan menyampaikan ekspresi sebagaimana hal yang dilakukan oleh Ketua BEM UI Zaadit Taqwa dapat dikenakan pidana penjara.
Dirinya dapat terjerat Pasal 263 ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.â€
Secara historis, pasal ini disebut sebagai pasal lesse majeste (melindungi martabat keluarga kerajaan Belanda) yang bermaksud menempatkan kepala negara tidak bisa diganggu gugat atau tidak boleh dikritik, yang sebelumnya diatur dalam pasal 134 KUHP.
Penerapaan pasal 134 KUHP pernah menimpa aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Monang Johannes Tambunan, yang karena ucapannya dianggap merendahkan nama baik Presiden saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketika itu dirinya memberikan orasi sebagai wujud kekecewaan Monang dan kawan-kawannya terhadap kinerja program 100 hari SBY yang tidak memberikan dampak signifikan terhadap masyarakat. Atas perbuatannya, pada 09 Mei 2005, Monang dihukum pidana selama 6 (enam) bulan penjara melalui penggunaan pasal 134 KUHP.
Dalam pandangan ICJR, ada beberapa catatan penting yang harus digaris bawahi. Pertama, terkait dengan pasal lesse majeste tersebut, telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi.
Namun sangat disayangkan bahwa RKUHP, yang bertujuan untuk melakukan dekolonisasi, demokratisiasi, konsolidasi, dan adaptasi serta harmonisasi hukum pidana justru memasukkan aturan yang dapat membawa kita kembali pada masa kolonialisme.
Hal ini jelas akan mengancam penghormatan dan perlindungan hak-hak dan kebebasan berekspresi dari warga negara. Selain itu, dimasukkannya kembali pasal lesse majeste ini dalam RKUHP sama saja membangkang pada konstitusi.
Kedua, tidak ada basis teoritis dan penjelasan ilmiah yang dapat diterima kecuali hanya penjelasan tentang adanya kejanggalan apabila penghinaan orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana, sedangkan terhadap Presiden/Wakil Presiden dan Pemerintah secara khusus tidak jadikan tindak pidana.
Ketentuan ini kedepan akan sangat dimungkinkan digunakan untuk menekan kritik dan pendapat terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini nampak dari tidak adanya standar baku mengenai hal-hal yang dianggap menghina, sehingga berbagai macam perbuatan selama dirasa bertentangan dengan kedudukan Presiden dapat dianggap sebagai penghinaan. Hal demikian menunjukkan lenturnya pemaknaan pasal 263 ayat 1 RKUHP.
Ketiga, delik dalam pasal ini adalah delik biasa, berbeda dengan delik penghinaan lainnya, misalnya dalam RKUHP pasal 540-550 yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencemaran. Selain itu, ancaman pidana pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV yang tercantum dalam pasal 263 ayat 1 ini berbeda dengan pasal 540 tentang penghinaan yang hanya diancam dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. Hal ini menjelaskan bahwa sifat delik pasal 263 ayat 1 ini menjadi diskriminatif.
Yang terakhir, keempat, terdapat perbedaan sifat yang sangat fundamental antara kedudukan raja/ratu dalam undang-undang dasar kerjaan Belanda, yang tidak dapat diganggu gugat, dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden RI menurut UUD 1945 dan dengan memperhatikan prinsip dalam dalam KUHP mengenai “asas kesamaan di depan hukum†dan tidak dikenalnya forum previlegiatum (hak khusus yang dimiliki oleh pejabat-pejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan bukan oleh pengadilan negeri) dalam peradilan di Indonesia.
Atas dasar itu ICJR menilai bahwa sebelum RKUHP diketuk palu dan disahkan maka sebaiknya pasal-pasal mengenai lesse majeste, yang akan mengekang hak-hak warga sipil dalam berekspresi, dihapuskan. Agar pasal tersebut tidak dijadikan sebagai alat represi penguasa, dan tidak lagi melanggar hak-hak asasi yang secara tegas dicantumkan dalam konstitusi tetapi justru untuk melindungi hak dan martabat warga negaranya.
Hal ini sejalan dengan pesan Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa “Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPidananya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Sehingga, dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana“
Oleh Erasmus Napitupulu, Managing Director ICJR