HAKIM Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada hari Senin 28 Januari 2019 memvonis Ahmad Dhani Prasetyo 1 tahun 6 bulan (1,5 tahun) penjara dalam kasus ujaran kebencian. Dhani dinyatakan terbukti bersalah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian yang diatur dalam pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebelumnya Ahmad Dhani dituntut 2 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena dianggap melanggar pasal 45A ayat 2 Jo pasal 28 ayat 2 UU ITE jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Dalam pantauan Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), dalam pertimbangannya, hakim menilai twit Ahmad Dhani di Twitter menimbulkan keresahan dan berpotensi memecah belah masyarakat. Hakim juga menilai Dhani sadar dan mempunyai peran dalam twit tersebut.
Atas putusan dan pertimbangan tersebut, ICJR memiliki beberapa catatan. Pertama, vonis yang dijatuhkan hakim kepada Ahmad Dhani menambah rentetan panjang korban dari pasal karet UU ITE. ICJR sudah jauh hari merekomendasikan mencabut dan meninjau ulang pasal-pasal yang multi tafsir dan berpotensi disalahgunakan untuk mengancam kebebasan berekspresi dalam UU ITE, seperti pasal 27 ayat 3 maupun pasal 28 ayat 2.
Kedua, seharusnya duplikasi tindak pidana dari UU ITE dengan seluruh ketentuan pidana dan atau pencemaran nama baik dalam KUHP dikembalikan segala bentuk pemidanaan itu ke dalam KUHP yang mengatur lebih rinci. Penafsiran pasal-pasal dalam UU ITE kerap kali membelenggu praktik pengadilan yang eksesif. Sebagaimana contoh mengenai ujaran kebencian, ujaran kebencian yang dimaksud dalam KUHP adalah ujaran kebencian dalam rangka menghasut sedangkan dalam UU ITE pengaturannya dibuat lebih karet sehingga lebih mudah digunakan.
KUHP mengatur beberapa unsur kunci seperti “di muka umum” dan “antar golongan”. Dimana UU ITE memberikan penafsiran yang lebih luas dengan menggunakan istilah “menyebarkan” dan juga mencakup “individu”. Hal ini menimbulkan multi tafsir karena dalam UU ITE, penggunaannya bisa sangat luas dan tidak ditujukan untuk propoganda kebencian semata, namun bisa ditempatkan dalam konteks ekspresi yang lebih privat seperti penghinaan individu atau kelompok tertantu yang tidak masuk dalam defenisi golongan seperti yang ada dalam Pasal 156 KUHP.
Ketiga, Implementasi pasal pasal dalam UU ITE memang salam ini dianggap bermasalah karena penggunaan yang tidak memiliki standar yang ketat. Penggunaan pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 UU ITE jarang diterapkan secara lebih cermat. Pada dasarnya penggunaan pasal-pasal ini harus lebih presisi dan tepat, sehingga dapat secara efektif memberikan rasa keadilan bagi publik namun di sisi lain juga tidak membunuh kebebasan berekspresi warganegara serta menciptakan iklim ketakutan dalam bereskpresi dan berpendapat.
Atas dasar tersebut, ICJR mendorong untuk mengevaluasi UU ITE dari segi substansi maupun implementasinya. Jika rumusannya masih karet dan multitafsir, maka dapat digunakan rumusan lama yang terdapat di KUHP dengan beberapa penyesuaian.
Oleh Erasmus Napitupulu, Direktur Program ICJR