BEBERAPA hari ini kita diributkan pelabelan ulama pada diri Sandi Uno. Hal itu terkait dengan pernyataan Dr. Hidayat Nurwahid (HNW), bahwa merujuk Surah Al Fathiir 28 dan Assyura 197, di mana disebutkan bahwa ulama adalah orang yang berilmu dan sekaligus takut pada Allah, maka Sandi Uno termasuk seorang ulama.
Hidayat Nurwahid masih tetap saja pada keyakinannya bahwa Sandi memenuhi kriteria ulama. Tentu sejarah HNW yang besar dalam ilmu keagamaan, baik sebagai alumni pesantren terbesar di Indonesia, Gontor, maupun belajar agama hingga gelar tertinggi dunia akademik, doktor, di Arab Saudi, membuat pelabelan yang dia lakukan tidak dapat disepelekan.
Cendikiawan
Persoalan pelabelan ulama ini bukanlah persoalan baru. Dr. Muhammad Imaduddin Abdurrahim, pendiri Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), misalnya, telah menghindari perdebatan ini ketika membuat wadah cendikiawan pada tahun 90an. Ketimbang wadah berlabel ulama yang akan sarat dengan kontroversi, para intelektual muslim tersebut memakai istilah cendikiawan.
Ketika ribuan doktor kaum muslimin memiliki keilmuan yang terdivisi dan terspesialisasi, sehingga fokus keilmuan begitu dalam dan detail, meskipun mereka juga takut pada Allah, namun karena mereka tidak atau belum terkoneksi dengan ajaran Al Quran sebagai sumbernya, secara keilmuan, Dr. Imaduddin lebih merasa pas melabelkan mereka sebagai cendikiawan.
Namun, bukan berarti seorang dokter ahli kebidanan, lebih tidak takut kepada Allah dibanding ahli tafsir, misalnya. Sebab, kedalaman dan kespesialisasian ilmu, justru dapat mengantarkan seorang ilmuan pada kepercayaan yang lebih tinggi pada Allah. Seorang dokter kebidanan misalnya bisa lebih nyata mengetahui perjumpaan sperma dan sel telur, lalu terbentuknya kehidupan, yang jika terkoneksi dengan ayat-ayat Al Quran, akan membuat keimanannya sangat prima.
Dalam ilmu yang semakin hari semakin terspesialisasi, manusia tidak diharapkan lagi harus memiliki ilmu yang general. Jadi ilmu dalam spektrum apapun adalah ilmu. Ini mendorong alasan HNW bahwa Sandi Uno memiliki ilmu, meski bukan ilmu agama sebagaimana HNW.
Namun, karena kebanyakan ulama dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam ilmu agama, terkait pemahaman yang terhubungkan dalam kajian Al Quran dan Hadist, pandangan HNW ini tidak populer. Dalam Encyclopedia of Islam, edisi kedua, oleh P. Bearman dkk, ulama disebutkan ” …the term refers more specifically to the scholar of the religious sciences (fikih, mufassin, mufti, muhaddish, mutakallim) dan juga dikaitkan dengan ” the guardians, transmitters and interpreters of religious knowledge, of Islamic doctrine and Law”.
HNW tidak dapat disalahkan atas pandangannya tersebut. Dalam tradisi Syiah misalnya, drajat keulamaan mereka, ditunjukkan dengan berbagai tingkatan dengan merujuk pada pelabelan seperti Mullah, Ayatullah dan Imam.
Sebaliknya, dalam tradisi Sunni, di mana syuro atau majelis lebih mengakomodir kebersamaan ketimbang superioritas seorang imam.
Namun, memang lebih aman untuk memberikan label cendikiawan bagi orang berilmu dan sekaligus takut kepada Allah, jika seseorang tersebut tidak melakukan pendalaman ilmu keagamaan. Setidaknya, ini untuk menghindari debat yang tidak dibutuhkan.
Sandi dan Tugas Kecendikiawanan
Sandi Uno adalah cendikiawan. Hal ini merujuk pemikir sekaligus pejuang, misalnya, Antonio Gramscy, Imaduddin Abdurrahim, Ali Syariati, dan lain sebagainya. Intinya cendikiawan adalah masyarakat atau orang yang tercerahkan, khususnya karena ilmu yang membuatnya mampu mendinamisir perubahan sosial.
Gramscy melihat cendikiawan berjuang untuk membangun dominasi kaumnya, tapi itu jika merujuk pada yang disebutnya “cendikiawan tradisional”. Sedang cendikiawan yang disebutnya “organics”, seperti kaum entrepreneur, mereka melakukan lebih dari sekedar untuk kelompoknya, yakni menginspirasi semua kelompok sosial untuk menerima “world view” yang mereka yakini.
Mereka membuat sejarah bergerak, sebuah perubahan sosial. Sebuah kerja politik. Sebuah kerja yang mengantarkan perubahan yang berkarakter ekonomi kepada kultur.
Dalam perspektif Imaduddin Abdurrahim, pendiri ICMI dan pendiri Masjid Salman ITB, seorang cendikiawan melakukan tugas keilahian, karena Allah menciptakan orang-orang berilmu akan diminta pertanggung jawabannya kelak diakhirat. Konsep cendikiawan dalam Islam tidak berhubungan dengan kepentingan material seperti pandangan Gramscy, tapi lebih pada terhubungkannya sang cendikiawan dengan perintah keilahian. Sebuah tanggung jawab yang sakral.
Jejak kehadiran Sandi di Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), di mana dia melalukan perubahan sosial bagi kebangkitan usaha kecil menengah dan kaum Boemipoetra, lalu (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), lalu masuk ke partai politik, lalu ke pemerintahan DKI dan sekarang “running” sebagai cawapres, menunjukkan keterlibatannya dalam urusan urusan sosial dan perubahan sosial yang semakin dalam. Ini adalah bentuk kecendikiawanan.
Sandi menjalani sejarah kecendikiawanan yang dimaksudkan, baik dalam terminologi Gramscy maupun Islam.
Ulama Vs Ubaru
Sandi membantah pelabelan dirinya sebagai ulama. Dia menyebut dirinya u-baru. Ini mungkin adalah cara Sandi mengakhiri pergunjingan yang tak bermanfaat. Sementara KH. Makhruf Amin, tetap yakin bahwa ulama itu adalah sosok seperti dirinya.
Pengalaman pribadi penulis juga ketika sekali dan hanya sekali bertemu beliau di lantai 3 kantor MUI Jalan Proklamasi, pada tahun 2012 menunjukkan sikap keulamaan beliau. Pada saat itu ketika penulis memberikan pandangan-pandangan dukungan terhadap Jokowi pada putaran pertama Pilgub DKI, beliau menasehati saya agar tidak mendukung Jokowi, karena haram hukumnya. Saya sebagai cendikiawan meyakinkan dia bahwa Jokowi lebih baik dari Fauzi Bowo, inkumben dan ketua NU Jakarta saat itu.
Namun, KH Ma’ruf Amin mematahkan semua argumen saya melalui ayat-ayat Al Quran, khususnya dikaitkan Ahok yang “membonceng” Jokowi, seorang kafir.
Ulama, seperti KH Ma’ruf Amin, berbeda dengan cendikiawan, memang mengkaitkan semua pemikirannya langsung pada teks Al Quran. Namun, apakah seorang ulama seperti KH Ma’ruf Amin saat ini, yang mengejar posisi wapres (umaro), pandangannya tetap harus dijadikan referensi? Tentu ini butuh kepastian lanjut dari majelis ulama.
Lalu apakah “Ubaru” mempunyai makna? Henry Timms dan Jeremy Heimans, dalam “New Power: How it’s changing the 21st century”, 2018, pada hal 26-27, mengisahkan tentang Gereja ” The House for All Sinners and Saints”, Denver, Collorado USA, yang diminati banyak kaum millenial. Keberhasilan Gereja ini menarik minat karena filosofi “We’re anti-excellencs, pro-participation”.
Saat ini, menurut Timms dan Heimans, memang dunia bergerak ke arah perubahan besar, di mana hidup dan kehidupan harus memperluas kolaborasi, partisipasi, non affliasiasi, taransparan, informal, self organization, desentralisasi, “maker culture”. Tentu Sandi memahami dalam dunia global tanpa batas ini, perubahan juga melanda Indonesia.
Mungkin Sandi ingin menunjukkan bahwa meskipun dia bukan ulama, tapi dia adalah seorang cendikiawan yang faham akan perubahan yang melanda masyarakatnya dan juga faham perubahan dunia yang sedang terjadi.
Jadi, “impian” keulamaan dari Hidayat Nurwahid pada Sandi, telah dipahami Sandi dalam sebuah tugas besar yang sesuai dengan jaman generasi Y dan Z, generasi millenial. Ubaru, mungkin. Sandi, sebagai cendikiawan, pasti, Insya Allah, akan berhasil, berkolaborasi dengan kita, membangun bangsa kita menjadi bangsa maju.
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle