Artikel ini ditulis oleh Tulus Sugiharto, Pemerhati Sosial.
Salah satu kegiatan positif di bulan puasa, menunggu buka, salah satunya melihat konten di new media yang positif.
Lumayan surprise saat melihat sebuah konten di Youtube dialog Bung Rizal Ramli di program berita Telisik atau Berisik.
Ada dua video durasinya hampir 1,5 jam tidak diselang iklan, beda jika tampil di TV mainstream, tim redaksi Berisik nampak membiarkan kontennya bebas dan apa adanya.
Kalau mau menyensor caranya unik, dengan cara Bung Hendri salah satu host sedikit menghaluskan isi pembicaraan.
Di media mainstream apalagi zaman dulu, gak mungkin satu narasumber bicara dengan durasi selama itu dan konten yang kritis dan mengungkap hal-hal yang tidak diketahui publik.
Biasalah setelah nonton ini saya kontak, diskusi dengan bung RR, bukan sekedar kontennya di Youtube itu yang kita bahas, tapi angle-nya ke public response and media now.
Orang-orang yang lahir pada Generasi X atau Gen X pada tahun 1965-1976 pasti mengalami media yang terbatas.
Di Indonesia pada era tahun 60 sampai dengan pertengahan 80-an hanya ada satu stasiun televisi namanya TVRI.
Jika mau hiburan lain bisa putar kaset atau mendengarkan radio, kalau mau tahu berita selain dari berita TVRI, ya baca koran.
Berita favorit dulu di TVRI namanya Dunia Dalam Berita, jam 21 malam, setelah itu tidur dan paginya jika ingin punya info beda, mendengarkan radio VoA atau Radio Australia yang dipancarkan dari kota Melbourne Australia.
Ada nama Istas Pratomo, Nuim Khaiyath, Hidayat Jayamiharja dan lain-lain.
Tapi jika ada sesuatu yang mengganjal pada sebuah berita atau tayangan tentang kebijakan pemerintah atau apapun, maka feedback ketidakpuasan itu hanya dalam bentuk surat pembaca. Isi media pada waktu itu slogannya bebas, tapi bertanggung jawab.
Kemudian media lebih bebas setelah TV swasta mulai muncul di akhir tahun 80an dan awal 90an, berita berita mulai bebas, asal ya jangan menyinggung keluarga penguasa (Pak Harto) saat itu.
Di era tahun 70an muncul spiral of silent atau teori keheningan, teori ini diperkenalkan oleh Elisabeth Noelle-Neumann di tahun 1974.
Ada tulisan Antonia Rucita (Binusian Communication) 6 Oktober 2021, disebutkan dalam penelitiannya, Noelle-Neumann menyatakan media mempengaruhi opini publik.
Teori ini benar jika melihat kondisi media di Indonesia pada tahun 70an itu. Teori ini menganggap pengaruh penting dari media adalah pembentukan opini publik yang secara langsung berhubungan dengan kebebasan berpendapat dan memicu timbulnya kelompok mayoritas serta minoritas.
Tapi saya berpendapat dalam konteks Indonesia (saat itu), perlu dilihat soal kata mayoritas. Mayoritas di sini lebih pada konteks peran penguasa yang secara luas menguasai isu publik melalui media.
Media yang dikuasai pemerintah dan sulitnya masyarakat melakukan feedback melalui media direspon oleh Jurgen Habermas seorang pemikir Jerman, yang menjadi penerus langsung pemikiran kritis dari mazhab Frankfurt atau Frankfurter Schule.
Kata Habermas perlu adanya public sphere atau ruang publik untuk berdiskusi dan bersikap kritis pada sebuah masalah. Pasca reformasi maka ruang publik untuk mengkritisi apapun, termasuk kebijakan pemerintah mulai terbuka.
Tapi apakah di era reformasi ini, media mainstream akan bersikap independen dalam membuat sebuah konten?
Mungkin pekerja media mainstream inginnya sih bersikap independen atau bebas, tapi bukankah sebuah konten bisa dipengaruhi (bahkan) diintervensi oleh pemilik media, penguasa atau bahkan pengiklan?
Spiral of silent kini mulai menguat, memanfaatkan public sphere tadi dengan munculnya media baru yang berbasis pada internet.
Dulu media mainstream perlu beberapa gatekeeping agar sebuah konten muncul, tapi sekarang seorang netizen bisa membuat konten sendiri, merencanakan, membuatkan, merekam, mengedit dan menayangkannya sendiri tanpa ada gatekeeping.
Ada positif tapi ada yang konten yang kurang bagus bahkan negatif, bahkan mungkin ada buzzer pembuat konten palsu.
Kaum X yang dulu medianya terbatas, tapi sekarang (bergabung) dengan kaum gen Y dan Z yang dekat akses informasi yang bebas, mereka bisa menjadi bagian bagi public sphere yang kritis Tapi bagaimana mereka kritis, menjadi kelompok penekan atau pressure group yang membuat response melalui konten yang positif?
Diskusi cukup panjang, aduh, jelang Magrib nih bung. Lebih ringkas mungkin. Dulu, bung Karno mempengaruhi massa dengan pidato-pidatonya yang sangat menggelora, membuat publik bangkit untuk merdeka.
Bung RR kini mungkin (mohon maaf ya) kurang dilirik oleh media mainstream, tapi si Bung muncul di macem macem media baru seperti di Youtube seperti yang ditonton di atas itu.
Kalau Bung Karno dulu rajin turun ke lapangan, pidato di tempat tempat terbuka, sekarang bung RR rajin turun di tempat yang lebih terbuka di media digital.
Dan kalau public sphere mau terus kritis, spiral (not) silent, kini menjadi putaran besar, maka gen X, Y dan Z jangan sungkan ajak si Bung RR diskusi menciptakan pemikiran yang out of the box.
Mudah kok menghubunginya melalui media sosial Twitter-nya, boleh dibagi yang Bung, Twitter Dr. Rizal Ramli @ramlirizal.
[***]