KedaiPena.Com – Pemerintah ngotot membuat ‘super holding‘ BUMN. Diharapkan ada banyak keuntungan yang didapat ketika para BUMN menjadi ‘super holding‘. Begawan ekonomi kerakyatan Rizal Ramli pun angkat bicara terkait ‘super holding‘.
“Kita tanya dulu mau gimana bikin ‘super holding‘, kok ribet amat. Pada dasarnya dengan ‘super holding‘ diharapkan ada manfaat. Baik dalam mencari modal maupun ‘cost input‘, karena skala gede, karena ada posisi tawar,” kata Menko Ekuin era Presiden Gus Dur itu di Jakarta, ditulis Kamis (31/10/2019).
“Kemudian, ada ‘efisiensi gain‘ yang didapat dari ‘cost reduction‘ dan lain-lain. Tapi pertanyaannya, dari ‘super holding‘ sudah ada belum yang sampai seperti itu, terutama ‘economic of scale‘ ada ‘efisiensi gain‘? Sayang kalaupun ada, tidak terlalu besar,” papar Rizal.
Eks Tim Panel Ekonomi PBB ini menambahkan, bahkan ada juga BUMN yang terus rugi walaupun ‘holding‘ sana-sini. Ini karena kulturnya tidak berubah. Contohnya, seperti yang mantan Menteri BUMN Tantri Abeng katakan, ‘holding‘ perkebunan. Ini terjadi karena kulturnya tidak berubah.
“‘Output‘ masih banyak dijual di belakang layar, ‘cost‘-nya tinggi dan sebagainya,” Menko Maritim Kabinet Pertama Jokowi melanjutkan.
Hal lain yang patut dilihat dalam konteks ‘super holding‘ BUMN adalah kepentingan konsumen. Kalau semua dimerger, digabung jadi satu, konsumen tidak akan diuntungkan. Karena tidak ada kompetisi.
Rizal lalu mencontohkan kebijakan sewaktu dirinya menjadi Menko Ekuin yang memisahkan Telkom dan Indosat. Tadinya kedua perusahaan itu ‘cost ownership‘, ‘cross management‘. Anak perusahaannya ada 40, dan semua dimiliki keduanya.
“Tahun 2000 kita pisahkan keduanya. Maka ada kompetisi, konsumen diuntungkan,” ujar RR, sapaannya.
Misal, kalau bank semua digabungkan. Maka akan menciptakan birokrasi baru, sudah direksi ‘holding‘, pun ada direksi bank. Yang kedua ‘economic of scale‘ tidak tercapai.
Contoh lain yang Rizal ceritakan terkait kompetisi adalah di sektor penerbangan komersil. Di tahun 2000, ‘airline‘ yang beroperasi di tanah air cuma Merpati, Garuda dan Mandala. Karena krisis, Pemerintah Gus Dur meminta turunkan harga tiket. Sayang, para maskapai itu tidak mau menjalankan permintaa pemerintah, karena adanya oligopoli.
“Lalu kita berikan izin pada lima pemain baru swasta, termasuk Lion Air dan lain-lain. Akhirnya ‘cost per passanger drop‘ lebih setengahnya. Total penumpang naik tujuh kali. Jadi, yang kita butuh adalah kompetisi. Kalau tidak, mereka seenak-enaknya sama konsumen,” Rizal menekankan.
Laporan: Sulistyawan