Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Bagaimana politik dinasti berkembang di Indonesia? Salah satu akar yang menjadi penyebabnya ialah sistem indirect rule (pemerintahan tak langsung) yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, pada era 1800-1949. Setelah bangkrutnya rezim VOC, 1602-1799.
Sistem indirect rule ialah pemerintahan melalui perantaraan penguasa-penguasa pribumi, seperti para priyayi dan keturunannya, yang diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menjadi pejabat dan bertindak sebagai boneka kolonial.
Sistem ini diperkuat oleh keputusan parlemen Belanda pada tahun 1854 yang menetapkan bahwa berdasarkan konstitusi Hindia Belanda pengangkatan bupati dilakukan secara turun-temurun.
Sistem pemerintahan indirect rule diberlakukan antara lain karena orang Belanda di Hindia Belanda memiliki keterbatasan sumber daya manusia dan tujuan lainnya ialah demi efektifitas penjajahan.
Orang Belanda memanfaatkan feodalisme yang sudah sangat mengakar terutama di Pulau Jawa.
Menurut sejarawan Heather Shuterland di buku Politik Dinasti Keluarga Elite Jawa Abad XV-XX, orang Belanda hanya bisa memerintah melalui kerjasama dengan elit lokal tradisional, yaitu golongan priyayi yang antara lain ditunjuk sebagai Volkshoofd (kepala rakyat) dengan salah satu tugas menarik pajak dari rakyat, dan dari tugas ini mereka mendapatkan “komisi” sebagai agen kolonial.
Itulah sebabnya para priyayi umumnya hidup terpandang bukan karena kewibawaannya membela rakyat, tetapi karena harta kekayaan dan status sosial.
Dengan legalitas ini para penguasa pribumi memiliki birthright. Yaitu semacam hak lahir. Dimana seseorang merasa berhak menjadi penguasa, karena dilahirkan sebagai anak atau kerabat penguasa.
Inilah salah satu akar dari praktek politik dinasti di negeri ini yang saat ini diperlihatkan oleh Jokowi. Meski Jokowi lebih banyak dilatarbelakangi oleh mentalitas aji mumpung.
Mindset birthright ini terbawa oleh Jokowi, karena dirinya presiden maka Gibran, sang anak, sepatutnya jadi wakil presiden, sang mantu jadi walikota, adik ipar mimpin MK, dan anak bungsunya, Kaesang, jadi ketua umum partai.
Mindset birthright ini hanya ada di dalam diri orang yang tidak memahami demokrasi dan tidak pernah berjuang dalam menegakkan demokrasi.
Di dalam filosofi Jawa sendiri
diajarkan agar kita menjauhi sifat aji mumpung, karena merupakan salah satu penyakit mental yang memperlihatkan sifat tamak dan serakah.
Sukarno, Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan para tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya tidak sedikit yang berasal dari golongan priyayi, namun mereka umumnya menolak feodalisme dengan menghilangkan kedudukan elitis mereka dan membuang rasa memiliki birthright.
Anak-anak atau anggota keluarga mereka umumnya dibiarkan memilih jalan hidup sendiri, menempuh karir atau profesi sesuai dengan yang diinginkan atau dicita-citakan tanpa menggunakan pengaruh dari jabatan orang tua.
Intinya mereka melawan politik dinasti karena mengakar kepada feodalisme dan kolonialisme, di mana keduanya identik dan paralel dengan penindasan terhadap rakyat. Mengabaikan prinsip yang oleh orang Perancis dikatakan sebagai: liberte, egalite, fraternite.
[***]