Artikel Ini ditulis Yos Nggarang, Penikmat Kopi.
Memandang Tanah Sumbawa dari dalam bilik pesawat jenis ATR di ketinggian lima belas ribu kaki. Terlihat Laut yang membiru dan sudah pasti dihuni berbagai jenis spesies ikan didalamnya.
Pemandangan lain yang tak kalah indah, yaitu daratan berbukit padang savana berumput hijau menandakan jejak musim hujan yang baru berlalu, diatasnya hidup ribuan sapi milik warga
Sumbawa tidak hanya kaya keindahan alam, juga tidak hanya kaya diatas tanah. Kata salah seorang kawan, Lukman Hakim.
“Pun di bawah tanah terdapat kandungan mineral Tembaga dan Emas yang menjadi perhiasan cantik tak bernoda,” ungkapnya lagi.
Di pulau inilah penambangan batu hijau yang terkenal dengan luas wilayah konsesi 25.000 hektar. Terdapat kandungan tembaga 17,54 miliar pon dan kandungan emas mentah 23,90 juta ons yang dikelola oleh perusahan AMMAN Mineral (JOR Report 2021), dikutip dari laman AMMAN.
Nilai kandungan sebesar itu, mencatatkan pulau ini masuk dalam daftar sebagai daerah penghasil emas terbesar kedua setelah Papua.
Kekayaan dan keindahan alamnya, tak bisa dipungkiri, itulah mengapa Sumbawa dijuluki ”Tanah Intan Bulaeng (Tanah Intan Bak Permata)”. Julukan yang menarik.
Namun, kita jangan berilusi dengan cadangan emas jutaan ons, tembaga miliaran pon, ikan, udang vanami, lobster yang diekspor dan sapi yang menghasilkan daging manis.
Itu tidak membawa kemakmuran bagi rakyat, hanya dinikmati segelintir orang.
Kenyataannya, kabupaten yang dihuni penduduk 509.753 jiwa ini masih didera terkait persoalan yang sangat mendasar, masuk salah satu daerah dengan kemiskinan ekstrem dan stunting yang tinggi di wilayah timur Indonesia.
Berdasarkan data, jumlah penduduk miskin ekstrem Kabupaten Sumbawa sebanyak 15.370 jiwa atau 3,20 persen (BPS, 2022).
Data statistik kemiskinan ekstrim tersebut memunculkan pertanyaan; kemana dan siapa yang menikmati kekayaan alam (emas dan tembaga) yang melantai di bursa saham dan sudah mendunia tersebut?
Sebuah pertanyaan atas kenyataan, butuh secangkir kopi Sumbawa untuk menjawabnya.
Kopi Sumbawa Juga Harus Mendunia
Malam berlalu. Pagi tiba. Matahari mulai beranjak dilangit Sumbawa yang sangat biru. Panasnya menghantam atap-atap seng, genteng rumah warga.
Saya dan Doktor Rizal Ramli merasakan langsung panas matahari pagi itu, saat turun dari mobil menuju rumah tua bercat lutih di sudut lampu merah, Jalan Kaharudin Nomor 5, Kota Sumbawa.
Lukman Hakim, aktivis pergerakan 1998 yang membawa kami di rumah tua itu, berjumpa dengan seorang lelaki yang saat itu mengenakan baju kaos putih, bercelana hitam, berkacamata yang menempel di kepala. Azizuddin namanya, akrab disapa Azis.
Saat kaki kami melangkah dari mobil dan menuju halaman rumahnya, ia menyambut dan menyapa RR dengan penuh kehangatan. RR pun merespon sambutan hangat itu dengan tak kalah hangatnya, menggenggam erat tangan dan merangkul Bahu Aziz. Ini ciri khas dari sang bengawan ekonomi kala berjumpa dengan siapa saja dan di mana saja.
Sikap egaliter, tak ada jarak. RR hanya berjarak kepada para pengambil kebijakan yang merugikan rakyat. Ia tidak pernah kompromi pada setiap kebijakan syarat dengan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Kebijakan seperti ini mereduksi visi dan cita-cita kemerdekaan, dan tentunya menghambat perubahan.
Sebuah sikap yang teguh, hanya setia pada visi dan ideologi. Sikap demikian sudah tertanam sejak dari mahasiswa ketika di Institut Teknologi (ITB) Bandung.
Sikap setia pada visi dan ideologi itulah yang membuatnya mengelilingi Pulau-pulau di Nusantara. Tak kenal waktu,tak kenal usia.
Hari ini, di Sumbawa menghadiri undangan, membagi ilmu sebagai bekal generasi muda, pewaris sah bangsa Indonesia, mahasiswa dari 75 perguruan tinggi dari seluruh Indonesia.
Si Rajawali memang tak lelah menyuarakan perubahan, karena memang ia punya konsep mewujudkan kemakmuran.
Rekam jejaknya jelas, baik diluar dan dalam pemerintahan. Itu semua bisa Anda akses di media.
Kembali ke rumah tua. Tangan RR tetap menggenggam tangan Aziz. Serta-merta tumpah keceriaan berepitis di wajahnya. Saat ia bicara menjelaskan usaha kopi rumahan (home industry) betul-betul ia kuasai dari hulu sampai hilir.
Saat Azis menjelaskan, nada suaranya jelas, lantang. Ia sedikit berimprovisasi seperti alunan musik tiup Saksofon, musik Jazz di hotel berbintang, yang hari itu panggungnya berpindah di rumah tuanya.
“Perjumpaan yang layak untuk dirayakan,” kata hatiku.
Aziz memperlihatkan biji kopi di dalam nampan putih yang terbuka diatas Bale Bambu depan teras rumah. Lalu ia memperlihatkan dan menjelaskan jenis kopi, kebunnya dimana, jarak tempuh dari kota Sumbawa dan diketinggian beberapa di atas permukaan laut (MDPL) kebun tersebut.
Terlihat juga timbangan duduk, tiga mesin pengolahan kopi dan kami pun menyaksikan dari dekat biji kopi yang sedang di-roasting.
Suhu panas matahari tadi seketika berlalu terkubur oleh aroma wangi kopi robusta. Dan wangi kopi ini bisa menetralkan bau matahari yang menempel di badan, polusi kendaraan yang lalu lalang.
“Bang, sengaja saya membawa Abang ke sini, agar menikmati langsung kopi yang baru di-roasting. Tidak cukup dengan menghirup wangiannya, harus coba merasakan langsung kopi Sumbawa,” ujar Lukman.
Azis pun sekata dengan Lukman, ia merespon pernyataan tersebut dengan mengajak Menteri Koodinator Ekonomi masa Presiden Gus Dur itu ke dalam rumah. Kaki kami pun melangkah duduk di kursi kayu berspon yang dilapisi kulit cokelat.
Seorang Ibu datang dari belakang, menyapa dan menyalami kami dengan senyum tak terbatas.
“Aduh ini seperti mimpi saja, Bang Rizal sampai di rumah kami yang sederhana ini, tidak pernah menyangka akan bertemu Bang Rizal sejak masa kuliah dulu,” ucapnya.
Sri Hastuti namanya, dipanggil Tuti. Ia adalah Istri dari Aziz.
”Bang, kami sama-sama aktivis. Semasa pacaran bahkan hingga sekarang, romantisnya belum ada. Mungkin begitu kalau sesama aktivis berpacaran?” canda Aziz yang disambut gelak tawa.
Lalu, kedua pasangan ini memperkenalkan produk kopi arabika dan robusta olahan rumah yang mereka rintis sejak tahun 2018.
Tiga bungkus kopi robusta, arabika dan satunya kemasan tertulis “wine coffee” dengan packaging yang menarik diletakkan diatas meja.
“Bang ini hasil produk yang kami kerjakan dirumah ini,” ujar Azis.
Dalam berusaha, keuletan dan inovasi menjadi sangat penting.
“Ini kunci untuk sukses. Saya lihat, packaging produk ini sangat menarik. Selain itu Aziz dan Tuti juga punya passion dalam bidang usaha ini. Selamat, saya sangat surprise,” Kata RR.
Tuti lantas bergegas ke belakang meracik minuman kopi arabika sebagai minuman suguhan pagi, menu istimewa untuk merayakan perjumpaan yang tak pernah disangka.
“Bang, aku buatkan wine coffee Arabika, ya? Abang harus coba,” kata Tuti.
Sebagai penikmat kopi, suara “terimakasih,” keluar diucapkan oleh mantan penasehat ahli PBB bidang ekonomi ini.
Aroma Kopi yang sedang diracik Tuti di ruang belakang tercium sampai ruang tamu. Sambil menunggu suguhan minuman wine coffee, Aziz menyuguhkan menu tata buku masa lalu, sejarah sebagai aktivis mahasiswa yanv ikut mengambil peran melawan rezim Soeharto.
“Dulu aku pernah jumpa dengan Abang, sekali. Tahun 1992 di Universitas Hasanudin (Unhas), Ujung Pandang nama waktu itu, sekarang Makasar. Waktu itu, Abang ceramah di bawah pohon, karena ruangan tidak dibolehkan,” kata Aziz.
“Itu ciri dan menjadi identitas Orde Baru, rezim otoriter Soeharto,” jawab RR.
“Jadi, waktu itu Abang dengan Pak Arief Budiman (almarhum) dan Hendardi. Di bawah pohon itu Abang menyemangati mahasiswa untuk berjuang melawan rezim otoriter.”
Begitu lancar dan semangat Aziz menceritakan kenangan 31 tahun lalu.
RR sebagai penyuka sejarah dan sebagai subjek dari kisah tersebut tekun mendengarnya.
Aroma kopi semakin tajam mendekat ruang tamu dan seketika wine coffee yang sudah diracik mendarat di atas meja. Tuan rumah, dirumah tua itu langsung menuangkan ke dalam gelas sloki.
RR mengajak bersulang pada tuan rumah, ”kopi Sumbawa, tost.”
Kopi Sumbawa pun masuk tenggorokan dan meresap masuk kedalam tubuh, tidak lagi sekedar menghirup aroma.
RR mengungkapkan, “rasa kopinya begitu nikmat, tak kalah dengan rasa kopi yang dijual Starbuck atau tempat kopi besar. Ini betul-betul internasional taste, tradisional touch. Saya sangat suka”.
Sebuah ungkapan kesaksian dari penikmat kopi.
Tegukan kopi selanjutnya memunculkan harapan dan penegasan dari RR, ”Metrokosta harus sukses dan Kopi Sumbawa harus mendunia”.
“Amin, itu harapan kami dan kelompok Tani kebun kopi Metrokosta, Sumbawa, Bang Rizal. Sangat berharap Kopi Sumbawa juga ada di setiap negara,” jawab Azis.
“Semua negara butuh kopi,” kata Lukman.
Ya, dalam berbagai riset yang dilakukan peneliti lewat beragam jurnal, kopi memang menjadi salah satu minuman paling banyak dikonsumsi dan diminati di dunia, masuk urutan dua atau tiga setelah air putih dan teh.
Tidak salah kopi menjadi salah satu minuman favorit saat ini.
Aziz lanjut menjelaskan, biji kopi ini berasal dari kebun kopi milik Kelompok Tani Metrokosta, yang terletak di Desa Tepal, Lanteh.
“Jarak kurang lebih 2 jam dari kota Sumbawa. Pohon kopi ini tumbuh di ketinggian 1200 mdpl,” ujarnya.
Pasangan yang berlatar belakang aktifis ini bergelut dengan kopi memang sudah lama. Tuti sebagai eksportir kopi sewaktu di Makasar. Sedangkan Aziz bekerja sebagai consultanT development.
Tahun 2007 mereka hijrah ke Mataram bangun usaha warung Kopi. Ini mengkonfirmasi, pasangan suami-istrinya bukan pendatang baru dalam soal bisnis kopi.
Bisnis kopi sudah menjadi kebulatan tekad. Mereka pun menamai merek usahanya; Metrokosta, nama yang sama dari Kelompok Tani Kebun Kopi Metrokosta.
Tuti, Azis, Lukman, petani dan masyarakat tentu berharap; Kopi Sumbawa harus menjadi komoditi unggul.
“Betapa bangganya kami,kalau dimana-mana ada Kopi Sumbawa. Dengan begitu Kelompok Tani Kebun Kopi Metrokosta semakin semangat menanam banyak Kopi dan bisa naik kelas seacara ekonomi,” ungkap Tuti.
Dalam perjalanan usia yang sudah 6 tahun, Metrokosta bukan bayi lagi. Metrokosta sudah bisa jalan tegap bahkan berlari.
Untuk itu, Tuti dan Aziz mau melanjutkan kerja visi dan cita-cita kemerdekaan dengan misi kesejahteraan petani kopi.
“Kopi Sumbawa harus mendunia,harus bisa ekspor,” harap RR.
Menurut Tuti, kegiatan ekspor baru mulai tahun ini.
“Saya baru buat Memorandum Of Standing (MOU) dengan investor Arab Saudi.”
Dilihat dari segi kapasitas volume produksi, kopi Sumbawa lebih dari 6.000 ribu ton per tahun layak dan pantas mendarat di meja belahan dunia lain
Tentu ini kabar gembira. Harapan kopi Sumbawa mendunia menjadi kenyataan.
Pemerintah mesti menjemput peluang ini dengan membuat kebijakan yang inklusif.
Menurut RR, Sumbawa tidak hanya identik daerah yang menghasilkan produksi tembaga dan emas.
“Ke depannya bisa kopi, asal ditanam dengan jumlah banyak, sehingga produksi meningkat serta menjaga kualitas, cara pengolahaan yang baik dan benar sehingga cita rasa kopi terjaga”.
Lanjut RR, ikan, udang, lobster, kopi, semua ada di Sumbawa. Ini potensi besar. Pemerintah harus menjemput peluang besar ini.
“Segera bangun pelabuhan ekspor, supaya ‘kue’ ekonomi langsung dirasakan oleh masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bertambah,” ujar Rizal.
Inilah obrolan RR saat berjumpa di rumah tua bercat Putih di sudut lampu merah. Aroma Kopi Sumbawa membangunkan memori, menjenguk masa lalu.
Satu tegukan Kopi Sumbawa melahirkan harapan, tegukan berikutnya bisa membangun optimisme.
Ya, karena memang Kopi Sumbawa khas, enak rasanya. Seenak, sepadan dengan tulisan di baju kaos putih Aziz, “Kopi Nikmat Tidak Harus Mahal. Kopi Mahal Harus Nikmat”. Kata yang sangat puitis.
[***]