TAK bisa dipungkiri dan bukan rahasia lagi, kelompok yang kalah dalam Pilgub DKI 2017 masih kentara belum legowo menerima kenyataan. Ini bisa dilihat dari tindakan dan sikap Ahokers yang selalu berdalih serta mengemas isu untuk kemudian menyudutkan Gubernur dan Wagub DKI Jakarta baru.
Betapa menyakitkan bagi kelompok kalah, karena dibandingkan sudut manapun, seperti dukungan parpol, pasokan dana, sarana dan prasarana, material, tim medsos, militansi pendukung, serta jagoan framing media, bisa dipastikan pasangan Anies-Sandi tidak ada apa-apanya. Pasangan ini jauh di bawah standar dan mustahil jadi pemenang yang mampu mengalahkan petahana sakti, yang menurut survei profesional maupun abal-abal, selalu unggul di setiap sudut wilayah pilkada Jakarta.
Selain tampil bagai tank baja kebal yang mampu menerobos segala medan, ternyata terbantu pula dengan andil aparat keamanan korps “baju cokelat”. Polisi secara kasat mata banyak memberi keleluasaan Ahokers tampil, sehingga tak jarang menimbulkan kegaduhan dan kejengkelan masyarakat, mulai distribusi atribut, baju/kaos, sembako yang vulgar dan tanpa malu-malu, sampai intimidasi yang melanggar hukum.
Konon, setelah tahu jagoannya kalah telak dengan selisih 15,9 persen dan tak mungkin bisa protes ke KPUD, mereka uring-uringan dan sumpah serapah. Bahkan, jauh sebelum pelantikan Gubernur dan Wagub baru, Ahokers dan Buzzers dkk sudah menumpahkan kekesalan dengan tuntutan macam-macam yang selalu diekspos berbagai media dengan harapan tentu tidak bisa terealisasi, sehingga bisa di-blow up sebagai pengingkaran janji kampanye.
Waktu pula membuktikan, belakangan Ahokers mulai melek dan kecele, karena banyak pekerjaan besar yang tertunggak dari Ahok-Djarot. Malahan, dalam hitungan hari, dengan lancar dapat diselesaikan, seperti pembebasan tanah untuk kepentingan MRT (Mass Rapid Transit) di daerah Fatmawati dan penutupan Hotel Alexis di Jakarta Utara.
Tindakan cepat Anies-Sandi untuk kepentingan umum, mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Tapi, tidak bagi militan Ahokers, seperti politikus Ruhut dan Bestari Barus (NasDem). Mereka berdua kompak hanya melihat sisi negatif, bukan berdasar nalar dan manfaat positif yang menguntungkan masyarakat luas jauh ke depan.
Sesuai dugaan, meski tanpa dukungan media mainstream yang selalu nyinyir kepada Anies-Sandi, tindakan jalan lurus on the track terus dibuktikan demi memajukan Kota Jakarta dan membahagiakan warganya, siapapun, tanpa SARA. Di sisi lain, duet Sitompul dan Barus yang diperkuat media mainstream, selalu menunggu dan mencari setiap kesalahan, sekecil apapun. Ke mudian, siap digoreng, agar kredibilitas dan nama baik ter-downgrade di mata rakyat Jakarta.
Meski politik itu cair, fleksibel, dan berdinamika tinggi, tapi bagi politikus bijak dan fair, pasti akan melihat nilai kebenaran secara komprehensif berbagai sisi lawan politik, bukan hanya berdasar pesan sponsor untuk mengintai kekurangan dan kesalahan. Politikus yang bijak dan fair, pasti menyatakan salah untuk yang salah dan menyatakan benar untuk yang benar. Bukan sebaliknya, atau ambigu kombinasi sesuai pesan sponsor.
Penyelesaian pembebasan tanah yang cepat dan lancar tanpa gembar-gembor, direalisasikan demi kepentingan umum bukan pencitraan. Padahal, pembebasan tanah itu menahun tak kunjung rampung, karena waktu itu cuma pakai kekuasaan dan ancaman, bukan hati dan rasa. Beda dengan duet Anies-Sandi, pendekatan dari hati ke hati dikedepankan, lalu ikut merasakan. Sehingga, membuat pemilik tanah menjadi sadar mau ikut menyelesaikan sengkarut tanah itu sesuai ketentuan, namun dengan mengutamakan kepentingan umum, tidak lagi bertahan sebagai pihak yang paling benar.
Terbukti, proyek MRT yang sempat tersendat di era Ahok-Djarot, sekarang bisa berjalan lagi, meski tanpa blow up media yang sudah ambil jarak dan malu-malu kucing enggan memberitakan keberhasilan ini.Begitu pula dengan kasus yang riuh rendah terkait Alexis. Memang bukan rahasia lagi, Alexis adalah hotel yang dilengkapi dengan fasilitas spa, massage, karaoke, restoran, night club, dan “esek-esek” wanita asal lokal sampai Cina, Vietnam, Thailand, Kazakstan, Uzbekistan yang sudah diketahui umum, meski seperti biasa, selalu dibantah Tim Legal & Corporate Affair Alexis Group. Tapi, masyarakat berbudaya dan beradab pasti mendukung tindakan Anies-Sandi, karena bagaimanapun, tempat seperti itu jauh sangat merugikan dan berdampak negatif bagi pembangunan moral bangsa. Anies-Sandi bernalar jauh ke depan demi moral anak bangsa dan tidak kemaruk terhadap pajak pendapatan dari Alexis Rp30 miliar per tahun yang tidak sebanding dengan dampak kerusakan akhlak anak bangsa bila terus dibiarkan.
“Selamat kepada ribuan ibu-ibu dari Pemda, DPRD seluruh Indonesia atas ditutupnya Alexis,” kata Hotman Paris. Kenapa? Karena ribuan pejabat daerah yang bertugas ke Jakarta terselamatkan uang SPJ-nya, tidak lagi dijajankan ke tempat yang salah, Alexis. Pengakuan dan bukti terus mengalir dan memang semakin nyata, Alexis bukan kawah Chandradimuka untuk menempa orang jadi kuat, gagah perkasa, berakhlak mulia, dan peduli sesama. Tapi, kawah tempat menghancurkan moral anak bangsa.
Sebenarnya, masyarakat awam banyak tahu kondisi begitu, apalagi media. Cuma sekarang, media dan stakeholder Alexis seperti orang lugu tak berdosa, pura-pura tidak tahu salahnya di mana. Bersyukur kepada Allah SWT, ternyata masyarakat Jakarta tidak buta dan tidak tuli hati. Sehingga, bisa menilai sendiri siapa yang benar, siapa yang salah, serta siapa yang dableg. Masyarakat sudah cerdas dan mengetahui, bagaimana media berdiri di depan Anies-Sandi sebagai pejabat baru yang tidak sepadan berdiri di depan Ahok-Djarot saat menjabat Gubernur/Wagub di DKI. Media seolah tidak bisa membedakan mana emas, mana tembaga. Pokoknya, tatkala ada tindakan dan kebijakan tidak sesuai dengan keinginan kelompok dan sponsornya, maka media segera agresif mem-bully Anies-Sandi. Sungguh ironis, kekuatan media yang kita banggakan sebagai pilar demokrasi sudah terkontaminasi kepentingan politik dan tidak berdiri netral, bahkan kasat mata memihak. Sungguh disayangkan, idealisme media dan jurnalis sudah mati, entah kenapa. Fakta dan kebenaran yang selalu diagungkan, sekarang menjadi lumpuh bersimpuh tak berkutik. Kita tahu jawabnya, bukan?
Contoh kecil, kebijakan tidak memperpanjang izin operasional Hotel Alexis, yang menggema justru ungkit-ungkit sosok pengambil kebijakan, bukan dampak manfaat bagi warga masyarakat luas dan kepentingan bangsa. Bisa dimaklumi, karena jagoannya yang suka koar-koar, cuma jago gusur rakyat kecil, sementara tidak mampu menutup operasional Alexis. Akibatnya, sedikit malu, karena new comer yang baru saja menjabat sekian hari langsung bisa eksekusi. Nampaknya, Anies-Sandi tidak mau menerapkan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, seperti yang dipraktikkan selama ini. Gubernur/Wagub ini rupanya menerapkan hukum yang sama bagi semua warga negara (equality before the law).
Keanehan bukan itu saja, tatkala Anies-Sandi telah bertindak baik, benar, dan sesuai aturan menyelesaikan masalah tanah untuk MRT dan Alexis, ternyata dinisbikan. Padahal, semua tahu pembangunan MRT sempat tertunda gegara masalah tanah, sedangkan Alexis adalah tempat asusila yang merusak moral anak bangsa. Sungguh menggelikan respons politikus Ruhut dan Barus (Nasdem) yang menyatakan tindakan Anies-Sandi berlebihan. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya jika Anies-Sandi bertindak di luar trek dan melanggar hukum.
Politik menghalalkan segala cara ternyata bukan basa-basi. Meski tahu itu buruk, amoral dan banyak mudarat bagi masyarakat, tapi demi kepentingan politik dan sederet kepentingan lainnya, maka gaya licik dengan menipu moral dan hati nurani adalah suatu keniscayaan. Lalu, maunya apa politikus seperti ini?
Ruhut yang dikenal politikus kutu loncat, dari Golkar ke Demokrat dan sekarang sedang menunggu partai lain yang mau menerimanya, tidak punya rasa malu (dableg) serta suka ABS. Begitu pula Barus yang gigih membela reklamasi (sponsor/taipan) yang berdasarkan putusan PTUN melanggar hukum, selalu menyerang dan menganggap tindakan Anies-Sandi salah dan berlebihan. Mereka berdua bukan menilai manfaat jauh ke depan, tapi cuma melihat pesan sponsor dan siapa yang melakukan.
Bisa diduga, bila gawe besar itu dilakukan oleh kelompok Ahokers, pasti meluncur puja-puji, kemudian akan jadi berita besar yang terus menerus menggema sebagai headlines. Sebaliknya, meski Anies-Sandi sebagai Gubernur/Wagub yang baru beberapa hari menjabat, kemudian berbuat baik, benar dan sesuai ketentuan kemudian berhasil, di mata mereka selalu saja ada kesalahan.
Sekarang, terserah masyarakat, apakah mereka disebut politikus yang fair, bijak, peduli rakyat, dan bangsa atau sebaliknya, politikus egois, licik, tak peduli rakyat, dan bangsa serta cuma mengutamakan kepentingan golongan dan sponsor?
Oleh Birru Ramadhan, Pemerhati Sosial Politik