SUATU hari setelah konsolidasi kekuasaannya dirasakan semakin kuat dan setelah sukses menyunting Sultan IX jadi wakil presiden untuk melegitimasi kekuasaan, Soeharto memanggil orang kepercayaannya untuk menjalankan semacam secret mission.
Orang kepercayaan yang juga jenderal dan merangkap penasihat spiritual ini diperintahkan untuk mencari ‘’orang pinter’’ yang bisa melacak keberadaan topeng Gajah Mada (masker perang yang merupakan bagian dari baju zirah) yang pernah dipakai oleh negarawan besar dan panglima perang terkemuka Nusantara dari Kerajaan Majapahit itu.
Singkat cerita, topeng tersebut berhasil ditemukan di suatu tempat. Keturunan Gajah Mada yang secara turun temurun telah ratusan tahun menjaga dan menghormati benda pusaka ini mulanya tak sudi topeng tersebut dibawa ke Cendana untuk diserahkan kepada Soeharto.
Namun, benda yang dipercaya memiliki kekuatan magis itu akhirnya terpaksa diserahkan. Berkembang cerita dalam perjalanan ke Jakarta si pembawa topeng keramat itu mendadak terkena serangan jantung dan meninggal dunia secara mengenaskan.
Waktu akhirnya sampai di Cendana topeng tersebut dikisahkan hanya bertahan beberapa waktu. Dahsyatnya aura magis pusaka tersebut sepertinya memberontak karena tidak betah disimpan di Cendana, hingga suatu hari benda tersebut dikisahkan menghilang dari kediaman Soeharto itu, dan tak pernah ditemukan lagi.
Bung Karno adalah pengagum Gajah Mada, saat Musyawarah Nasional Maritim tahun ’63 dia bertanya kepada forum:
‘’Gajah Mada itu matinya dimana? Coba tanya ahli-ahli sejarah itu… ’’
Sukarno mengatakan Gajah Mada mati moksa di laut, menghilang sirna melebur di laut.
Ini apa artinya?
Maksudnya kita adalah bangsa yang seharusnya menjunjung tinggi laut. Mampu berjaya di laut, mampu menguasai geopolitik dan geoekonomi. Kalau pemimpinnya punya visi, kalau punya integritas moral seperti yang dicontohkan oleh Gajah Mada yang bersumpah tidak akan makan buah palapa sebelum mempersatukan Nusantara.
Buah Palapa tak lain adalah metafor dari kenikmatan duniawi. Yang kalau dalam konteks sekarang kira-kira seperti: tidak akan menggunakan fasilitas jabatan, tidak akan korupsi, tidak akan menjadi penguasa merangkap pengusaha, tidak akan bergaya hidup hedonis seperti umumnya para pejabat hari ini, tidak akan tergoda oleh kepentingan asing & aseng (seperti faham neoliberal, World Bank & IMF), tidak akan membuat kebijakan yang bikin susah rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompok seperti impor beras di waktu panen, tidak akan membiarkan berbagai ketidak adilan terjadi disamping kekuasaan, tidak akan kembali menjadi pemimpin jika rakyat sudah menyatakan gagal, dan seterusnya.
Sukarno punya paralelisme sejarah dengan Gajah Mada; memiliki persinggungan dengan Mojokerto. Gajah Mada diyakini mengucapkan Sumpah Palapa, di Mojokerto, Trowulan, sedang Sukarno tumbuh sebagai bocah di wilayah ini.
‘’Ketika aku berumur enam tahun kami pindah ke Mojokerto. Kami tinggal di daerah yang melarat dan keadaan tetangga-tetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri. Akan tetapi mereka selalu mempunyai sisa uang sedikit untuk membeli papaya atau jajanan lain. Tetapi aku tidak…’’ kata Sukarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam Sukarno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Kelahiran Hayam Wuruk yang merupakan raja dari Gajah Mada menurut sebuah versi ditandai oleh meletusnya Gunung Kelud, peristiwa yang sama terjadi ketika Sukarno lahir, 1901. Gunung terbesar di Jawa Timur itu meledak dahsyat yang dianggap merupakan pertanda zaman baru bagi bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Leluhur Hayam Wuruk, Raden Wijaya, adalah pendiri dan raja pertama kerajaan Majapahit, pemimpin yang cerdas, berani, dan visioner pada masanya.
Ketika pasukan Mongol mendarat di Jawa yang jumlahnya mencapai lebih dari 20.000 orang untuk menghukum Kertanegara yang telah memotong kuping utusan Kublai Khan, dengan diplomasi yang canggih Raden Wijaya mampu memanfaatkan pasukan Mongol untuk menghancurkan Raja Kediri Jayakatwang, yang merupakan kerajaan seterunya dalam menguasai tanah Jawa.
Pasukan Mongol yang sedang berpesta kemenangan setelah ikut menghancurkan Jayakatwang menjadi lengah, saat itulah Raden Wijaya dan pasukannya melakukan serangan mendadak terhadap mereka. Bala tentara Mongol ini akhirnya lari meninggalkan tanah Jawa dengan cukup banyak prajurit mereka yang tewas.
Adapun Kertanegara, raja Singosari yang merupakan mertua Raden Wijaya, tidak kalah patriotnya. Ia memperlihatkan sikap tegas dan jelas menolak diintervensi oleh kekuasaan asing. Ia menolak utusan Kublai Khan yang datang ke tanah Jawa untuk memintanya takluk kepada kerajaan Mongol. Saking tersinggung salah satu telinga utusan raja Mongol itu dipotongnya sampai copot.
Sebuah tindakan yang bukan main berani dan berisiko tinggi mengingat kala itu kekuasaan Mongol telah menjadi sebuah imperium besar yang menakutkan yang menguasai hampir ¾ dunia dengan kekuatan pasukannya yang bukan hanya menakjubkan tetapi juga sadis dan kejam, sampai-sampai konon katanya kata ‘’bengis’’ berasal dari kata Jengis, yaitu Jengis Khan pemimpin utama mereka.
Ada hal lain yang juga menarik dari catatan perjalanan di kawasan bersejarah di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur ini, ternyata tokoh nasional Dr Rizal Ramli memiliki jejak langkah penting dengan wilayah ini. Pada 1982 Rizal Ramli tinggal di Mojokerto, Trowulan, tak jauh dari areal komplek Sitihinggil makam Raden Wijaya dan Pendopo Agung Hamukti Palapa Gajah Mada, yaitu situs yang diyakini merupakan tempat Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Waktu itu Rizal merupakan field coordinator reformasi Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Desa dengan produk Simpedes dan Kumpedes. Rizal ternyata sudah cukup akrab dengan suasana dan masyarakat di sana, bahkan ketika tinggal lebih dari satu tahun di daerah tersebut selain suka nonton film di satu-satunya bioskop yang ada di Mojokerto waktu itu, Rizal sering pula diajak nonton wayang oleh teman sejawatnya. Budaya Jawa ternyata sudah sangat akrab bagi Rizal Ramli.
Hari Minggu 25 Februari yang lalu Rizal Ramli seakan bernostalgia saat kembali ke Trowulan. Kali ini untuk menghadiri HUT ke 25 Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI). Sebuah kelompok yang terdiri dari ribuan pedagang dari berbagai daerah yang selama ini masih termarjinalkan dan tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Rizal sendiri yang memang dikenal dekat dengan rakyat memegang posisi sebagai ketua dewan pelindung organisasi wong cilik ini.
‘’Pak Rizal Ramli itu orangnya humble banget. Padahal dia bekas Menko, berkali-kali jadi menteri, jadi pejabat ini dan itu, lha kok ikhlas ya ngurusin kami pedagang kaki lima, wong cilik,’’ kata seorang ibu yang hadir dalam perayaan HUT bertempat di Pendopo Agung Hamukti Palapa Gajah Mada itu.
Hujan yang turun tidak menggoyahkan semangat para padagang kaki lima yang datang untuk berdoa dan merayakan HUT. Merekalah sebenar-benarnya manusia berdikari.
Oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior