KENAPA para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan putra daerah dari berbagai wilayah Nusantara setuju Hatta jadi wapresnya Sukarno?
Karena waktu itu ada keikhlasan yang tinggi untuk menjaga dan memelihara kebhinnekaan, kesadaran yang mendalam terhadap posisi geopolitik dan geoekonomi, sehingga disetujui Hatta menjadi wapres yang ditunjuk secara aklamasi bersama Sukarno sebagai presiden, atas usulan Otto Iskandardinata.
Waktu itu hari Sabtu pahing, 10 Ramadhan 1364, atau 18 Agustus 1945, bertempat di Gedung Pejambon (sekarang Gedung Kemenlu).
Konteksnya adalah: Hatta merepresentasikan tokoh dari luar Jawa (Minangkabau), Hatta dibutuhkan karena adanya kebutuhan terhadap perencanaan pembangunan ekonomi Negara Indonesia yang baru merdeka.
Seperti diketahui Hatta merupakan seorang ekonom terkemuka dengan konsepsi ekonomi pro kerakyatan.
Pertimbangan lainnya adalah Hatta sebagaimana umumnya para tokoh di era tersebut, merupakan tokoh pergerakan yang konsisten, yang telah menempuh berbagai macam cobaan, tekanan, dan penderitaan demi memerdekakan bangsa.
Hatta yang orang Minang bukanlah seorang provincialistis yang mengedepankan identitas primordial, kedaerahan, atau kesukuan. Sama halnya seperti tokoh nasional Rizal Ramli yang juga kebetulan orang Minang, dan juga seorang ekonom yang belajar ilmu ekonomi di luar negeri dengan reputasi doktor, seperti juga Hatta yang menjalani kuliah ekonomi di luar negeri, di Rotterdam, Belanda, dan bermukim di sana selama sebelas tahun.
Esensinya, Rizal Ramli dan Bung Hatta memiliki keterkaitan paralelisme historis. Kedua-duanya dapat dikatakan sosok internasionalis dalam arti memiliki jaringan pergaulan dan pengetahuan yang luas di lapangan internasional, terutama dalam bidang ekonomi. Seperti diketahui, selain sebagai dosen di sejumlah universitas di luar negeri, Rizal Ramli adalah penasihat ahli PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Suatu hari Bung Hatta pulang kampung, bertemulah ia dengan salah seorang yuniornya, Djoeir Moehamad.
Bung Hatta berkata ‘’Orang Minang terlalu cepat jadi orang Indonesia’’.
Maknanya bahwa jiwa keindonesiaan itu sangat penting. Kalau kita ingin menjadi sebuah bangsa yang utuh dan menginginkan kemerdekaan maka identitas keindonesiaan harus diutamakan.
Di masa pergerakan Bung Hatta diolok-olok oleh kalangan kiri dengan sebutan Hollandofil (sayang kepada Belanda), meski faktanya Belanda mencap Hatta sebagai orang berbahaya, sehingga dibuang ke Digul, Banda Neira, dan Sukabumi, dijebloskan di sejumlah penjara, dengan total waktu keseluruhan hampir sembilan tahun.
Tekanan dan cobaan juga dialami oleh Rizal Ramli sebagai orang pergerakan semasa kuliah di ITB saat melawan rezim otoriter Soeharto.
Jika Hatta mengeluarkan pledoi Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka), maka Rizal Ramli mengedarkan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978, yang menjadi salah satu tonggak inspirasi perlawanan mahasiswa Indonesia terhadap berbagai bentuk otoritarianisme di tanah air.
Rizal Ramli seperti halnya Bung Hatta saat berkuliah di Rotterdam, juga mengalami dimata-matai oleh para intel (spion Melayu). Atas aksi demonstrasi melawan Soeharto dan upaya memberantas kebodohan karena banyaknya kanak-kanak yang tidak dapat bersekolah pada masa itu; Rizal dibui di rumah tahanan militer dan penjara Sukamiskin, Bandung, tempat dimana dulu Sukarno pernah meringkuk.
Akan halnya Rizal Ramli sejak menjadi menteri, termasuk saat menjadi Kepala Bulog, di era Presiden Gus Dur, dan berbagai posisi penting yang pernah ditempatinya meninggalkan banyak sekali prestasi dan reputasi yang hingga kini berbagai jejak langkahnya masih dapat kita ketahui secara luas.
Saat menjabat Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli adalah Menko yang paling pasang badan, mengabdi, dan loyal mengupayakan terwujudnya cita-cita Tri Sakti, Revolusi Mental, dan Nawa Cita seperti yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo.
Sehingga kini lumrah dan sangat wajar apabila banyak suara di dalam masyarakat menginginkan Rizal Ramli tampil menjadi orang nomor satu (presiden) di negeri ini.
Oleh Arief Gunawan, Jurnalis Senior