KedaiPena.Com – Salah satu hal yang menarik dalam hasil riset yang dilakukan lembaga riset global ‘Fitch Solutions Macro Research’ yang dirilis belum lama ini (4/11/19), adalah soal posisi Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
Luhut yang merupakan mantan jenderal ini dipertahankan di posisi yang sama karena dianggap memiliki reputasi kebijakan yang memuaskan.
Pemilihan Luhut, tulis riset yang dilansir CNBC tersebut menjelaskan, digesernya Thomas Lembong dari posisi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang digantikan Bahlil Lahadalia.
Thomas dinilai cukup kritis menyikapi banyaknya modal Cina yang masuk ke dalam negeri. Sedangkan Luhut dikenal pro Cina.
Luhut sendiri memimpin sebuah tim yang disebut sebagai Global Maritime Fulcrum Task Force atau penanggung jawab bidang investasi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road Initiative di Cina selama 24-27 April 2019.
Dalam pertemuan itu, sejumlah pejabat teras menawarkan sejumlah proyek yang dapat memperoleh pendanaan dari Cina.
“Investasi yang masuk dari Cina ini berada di bawah koordinasi Menko Luhut Binsar Pandjaitan,” ucap Staf Khusus Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (nomenklatur saat itu), Atmadji Sumarkidjo, saat ditemui di Gedung Menko Kemaritiman pada Kamis (25/4/2019), dilansir Tirto.
Luhut menawarkan keikutsertaan Cina dalam proyek pembangunan di dalam negeri senilai US$ 91 miliar sebagai bagian dari Beijing and Road Initiative (BRI). BRI adalah rencana investasi infrastruktur raksasa oleh Cina yang mencakup Eurasia.
BRI terkoneksi dengan rencana Jalur Sutra modern. Dahulu, jalur ini merupakan jalan panjang, membentang di antara dua benua serta menghubungkan Tiongkok dan Eropa sejak era Dinasti Han (202 SM-220 M). Istilah ini mungkin bukan terminologi yang asing.
Jalur ini cukup terkenal sebagai rute perdagangan dari peradaban Tiongkok kuno, di mana kala itu sutra menjadi komoditas utama yang diperdagangkan ke seantero dunia.
Dengan melalui jalan sepanjang 7 ribu mil (11,2 ribu kilometer), para pedagang Tiongkok harus melewati berbagai negara yang terhubung melalui jalan ini ketika ingin sampai ke Eropa.
Nilai sejarah jalur sutra inilah yang menginspirasi ambisi pemerintah Tiongkok saat ini untuk menerapkan apa yang disebut sebagai kebijakan One Belt One Road atau OBOR.
Proyek ini adalah pembangunan jalur-jalur sutra baru dengan memperkuat infrastruktur pendukung perdagangan di titik-titik dan negara-negara yang dilalui.
Patut diketahui, kedua negara telah menandatangani 23 kesepakatan kerja sama untuk sejumlah proyek di bawah panji kebijakan luar negeri pemerintah Cina yang dikenal sebagai One Belt One Road (OBOR) atau Belt Road Initiative (BRI).
Lima dari 23 proyek yang ada total nilainya mencapai sekitar $14,21 miliar. Lima proyek tersebut adalah proyek PLTA Kayan ($1,5 miliar), investasi pengolahan limbah ($3 miliar), PLTA Salo Pebatua ($560 juta), pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seluas 31.000 Ha ($9 miliar), dan proyek industri perikanan terintegrasi di Pulau Seram, Maluku ($150 juta).
Kembali ke riset global ‘Fitch Solutions Macro Research’, kebijakan Luhut terutama sikapnya yang dinilai pro-Cina dianggap kontroversial dan sudah memicu naiknya sentimen anti-Cina.
Sementara, riset dari Pew Research Institute asal Amerika Serikat, pandangan positif terhadap Cina turun 17% dalam 10 tahun terakhir.
Di sisi lain, pernyataan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil bahwa investor domestik akan menggantikan porsi investor asing pada periode dia menjabat, adalah sinyal bahwa dia akan fokus pada investor domestik. Sedangkan investor dari luar negeri akan ditangani Luhut.
Laporan: Muhammad Lutfi