BEBERAPA waktu belakang ini, banyak kampanye serta isu mengenai plastik yang beredar di masyarakat. Plastik dianggap penyebab utama kerusakan lingkungan.
Jika kita menelisik lebih dalam lagi, plastik sebenarnya tidak salah, tapi pola produksi yang tidak memperhatikan produk yang ramah lingkungan.
Selain itu, tidak bijaknya masyarakat dalam penggunaan plastik turut andil terhadap menguatnya stigma tersebut.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah sistem manajemen persampahan kita yang belum juga memperlihatkan perubahan yang signifikan dalam pengurangan, penanganan dan pelayanan.
Rancangan peraturan pemerintah tentang cukai kantong plastik sebenarnya sudah baik adanya, untuk pengurangan sampah dan pengendalian pencemaran. Tapi isi dari rancangan tersebut masih kurang baik.
Adanya karena beberapa poin yang perlu diubah sehingga tidak menjadi polemik atau dampak buruk bagi masyarakat, industri, pelaku usaha maupun pemerintah itu sendiri, di kemudian hari.
Dalam isi rancangan peraturan pemerintah, tidak ada satupun poin yang membahas tentang adanya SNI 7188.7-2016 tentang kategori produk tas belanja plastik dan bioplastik mudah terurai.
Padahal isi dari SNI tersebut bertujuan untuk menetapkan persyaratan lingkungan yang harus dipenuhi sebagai produk yang ramah lingkungan. Juga diharapkan dapat mengurangi dampak pemakaiannya sampah terhadap lingkungan dengan memperhatikan aspek setelah habis masa pakainya.
Tetapi faktanya belum semua elemen masyarakat mendapat sosialisasi tentang keberadaan SNI tersebut, sehingga masyarakat dapat dengan bijak memilih yang baik untuk digunakan dan bijak membuang sampah plastik.
Banyaknya hewan mati karena sampah plastik atau tercemarnya ekosistem laut, diakibatkan kurang optimalnya pengelolaan sampah di darat. Seharusnya kan tertib di darat bersih di laut.
Pada pertemuan antara tim Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia dengan pihak KSP (Kantor Staf Presiden) di gedung KSP, kami meminta serta mendorong pemerintah untuk tetap memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian dari semua perspektif seperti lingkungan, ekonomi, teknologi, dan sosial budaya.
Dalam rancangan peraturan pemerintah ini karena seringkali kebijakan yang bertujuan baik, jika tidak memperhitungkan dapat menyebabkan ekses negatif yang buruk, terlebih lagi efek seperti bumerang terhadap pengambil.
Dalam rancangan peraturan pemerintah ini terkesan kementerian keuangan memiliki tafsir atau makna sendiri tentang apa itu ramah lingkungan. Seharusnya dalam pembuatan kebijakan antara subjektivitas dan objektivitas perlu diterapkan sehingga menjadi ‘win-win solution’ untuk semua pihak yang terkait.
Baik masyarakat, pemerintah, maupun kalangan industri, pengusaha demi keberlangsungan lingkungan hidup yang berkeadilan, lestari, dan berkelanjutan.
Oleh Andrie Charviandi, Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia