“KALAU saya jadi Presiden, pada hari pertama saya akan tangkap 100 orang Indonesia paling brengsek. Saya akan kirim mereka ke pulau bernyamuk malaria, di selatan Kalimantan,†ujar Rizal Ramli.
Pernyataan itu disampaikan pria yang akrab disapa RR saat melepas rombongan acara Pulang Basamo Ikatan Warga Saniangbaka (IWS), Sumatera Barat, di halaman masjid At Tin, Jakarta Timur, Ahad (17/6/2018).
Acara mudik bareng diikuti 16 bus dan lebih dari 400 kendaraan pribadi. Mereka akan konvoi sepanjang perjalanan. Di tempat tujuan, rencananya, rombongan akan disambut Gubernur Sumbar dan Bupati Solok.
Sejatinya, ucapan itu bukan barang baru. Rizal Ramli sudah sering mengulang-ulang pernyataan tersebut di banyak tempat dan kesempatan.
Sejak mendeklarasikan diri sebagai Calon Presiden periode 2019-2024 di halaman belakang rumahnya di bilangan Bangka, Jakarta Selatan, pada 5 Maret silam, entah sudah berapa belas kali dia lakukan itu.
Dan, seperti juga Ahad kemarin, setiap dia menyampaikan pernyataan tersebut selalu saja disambut gelak tawa hadirin. Entah, apa yang terjadi pada mereka. Mungkin, para audien berpikir RR tengah melucu.
Benarkah Rizal Ramli tengah melucu? Saya yakin, haqqul yaqin, tidak. Tokoh nasional yang pernah menjadi anggota tim panel ahli Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bersama dua penerima hadiah nobel ekonomi itu, saya rasa, serius dengan pernyataannya.
Ya, Rizal Ramli sungguh-sungguh akan menggiring 100 orang Indonesia paling brengsek ke pulau bernyamuk malaria.
Mahathir dan Najib
Dari negeri jiran, 9 Mei silam, Malaysia, Mahathir Muhammad memenangi Pemilihan Raya (Pemilu). Politisi gaek berusia 93 tahun itu berhasil menumbangkan kekuasaan otoriter dan korup Perdana Menteri Najib Razak yang telah berkuasa selama satu dasawarsa.
Hal mengejutkan yang dilakukan Mahathir yang juga mantan PM Malaysia itu adalah, sehari berikutnya dia langsung melarang Najib meninggalkan negeri. Bahkan, dia juga memerintahkan aparat hukum menggeledah dan menyita harta millik Najib. Malaysia pun goncang.
Belum pernah dalam sejarah negeri anggota persemakmuran Inggris itu memperlakukan mantan pemimpinnya sedemikian rupa.
Malaysia memang punya hukum tegas terhadap tersangka kasus korupsi. Maka, sejak 18 Mei sampai 10 hari berikutnya rakyat Malaysia disuguhi aksi aparat hukum yang mengangkut bertas-tas uang, barang-barang mewah, lusinan tas berharga mahal, dan mobil milik Najib serta sang istri.
Semua uang dan barang yang disita karena diduga didapat dari korupsi tersebut. Mereka diangkut dengan lima truk polisi. Polisi mengaku butuh waktu tiga hari untuk menghitung tuntas seluruh uang serta nilai barang yang disita.
Gerangan pesan apa yang hendak Mahathir sampaikan? Hukum harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Dr M ingin menunjukkan kepada rakyat Malaysia bahkan dunia, bahwa ketegasan juga berlaku bagi mantan perdana menteri yang baru lengser.
Setiap pelaku kejahatan, apalagi jika magnitudo kerusakannya begitu luas, harus mendapat balasan setimpal. Korupsi, apalagi dilakukan kepala negara, adalah kejahatan luar biasa yang harus mendapat sanksi luar biasa pula.
Reformasi 1998
Adakah Rizal Ramli terinsipirasi pada gebrakan Mahathir? Tentu tidak. Mahathir baru memenangi Pemilu pada 9 Mei 2018. Sementara Menko Ekuin era Abdurrahman Wahid itu langsung menyatakan akan mengirim 100 orang Indonesia paling brengsek ke pulau yang dihuni nyamuk malaria pada 5 Maret 2018, saat dia mendeklarasikan diri sebagai Capres.
Sepertinya pria yang dikenal sebagai tokoh pergerakan sejak mahasiswa 40 tahun lalu itu hendak belajar dari reformasi 1998. Gerakan mahasiswa dan seluruh elemen rakyat tersebut memang berhasil menumbangkan Soeharto yang telah berkuasa lebih dari 32 tahun.
Ada aroma kemenangan merebak ke segala penjuru atmosfir Indonesia. Ada kebanggaan memenuhi tiap dada rakyat yang ingin perubahan. Ada euforia yang bergelora di situ. Tapi, ternyata ada yang luput dari sana.
Krisis moneter telah menghempaskan Indonesia jatuh ke titik terdalam. Ekonomi yang stabil di kisaran 6% selama puluhan tahun, tiba-tiba terbanting ke minus 13%. Praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang menggurita, utang swasta yang gila-gilaan, dan pengelolaan perbankan yang ugal-ugalan, jauh dari prudent, dibayar teramat mahal.
Pemerintah harus mengucurkan ratusan triliun rupiah dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bermasalah.
Bukan itu saja, selanjutnya seluruh rakyat harus membayar puluhan triliun bunga BLBI setiap tahun sampai tahun 2040 yang angkanya disembunyikan di APBN.
Sementara para banditnya, yakni pejabat publik yang bertanggungjawab dan para konglomerat hitam, justru melenggang dan hidup supermewah. Tidak ada yang ditangkap dan dijatuhi hukuman berat, kecuali beberapa gelintir figuran.
“Ini tidak benar. Harus ada yang dihukum atas perbuatannya yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Sayangnya reformasi 1998 melupakan aspek ini. Akibatnya, para penjahat tadi bukan saja bebas, bahkan mereka membajak reformasi. Mereka kembali memegang kendali negara yang pernah mereka hancurkan,†ujar Rizal Ramli, geram, dalam sebuah obrolan santai di teras belakang rumahnya yang asri, dua hari setelah Idul Fitri 1439 H.
Pria yang saat mahasiswa pernah mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung, karena melawan otoriterisme Orde Baru ini sepertinya benar-benar ingin belajar dari kesalahan reformasi 1998. Dia tidak mau kehilangan momentum untuk menghukum siapa saja yang merusak Indonesia.
Itulah sebabnya dia menyatakan “pada hari pertama menjadi Presiden.” Momentum ini penting. Karena jika dibiarkan ditunda-tunda dan berlarut-larut, maka segala kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Pada bandit perusak negara sangat mungkin melakukan konsolidasi, minimal menghilangkan bukti-bukti.
Kebijakan yang memiskinkan
Pada titik ini, maka pernyataan Menteri Keuangan era Dus Dur itu yang akan menangkap dan mengirim 100 orang Indonesia paling brengsek ke pulau terpencil bernyamuk malaria, menemukan konteksnya. Ya, memang harus ada yang dihukum atas berbagai kemiskinan dan derita yang dialami rakyat negeri ini.
Kemiskinan yeng membelit sebagian besar rakyat negeri ini memang tidak semata-mata karena mereka malas. Justru pada umumnya rakyat Indonesia adalah pekerja keras, ulet, dan tahan banting. Dalam praktiknya, kemiskinan dipicu oleh kebijakan negara yang memiskinkan.
Mengimpor beras dan garam saat panen raya jelas kian memiskinkan petani dan petambak garam. Membarter kuota impor berbagai komoditas pangan dengan uang sogokan jelas merugikan negara dan menyusahkan rakyat. Publik harus membayar jauh lebih tingggi ketimbang yang seharusnya.
Mengobral sumber daya alam dan aset-aset BUMN, jelas merugikan bangsa ini. Terus-menerus berkiblat pada neolib sebagai model pembangunan ala Bank Dunia dan IMF, jelas mematikan potensi negeri ini untuk terbang lebih tinggi.
Menimbun utang beribu-ribu triliun dalam waktu amat singkat jelas sangat membebani APBN, yang pada akhirnya merampas hak-hak rakyat dari postur anggaran. Bukan itu saja, utang telah membuat kedaulatan Indonesia sebagai sebuah bangsa besar raib entah ke mana.
Secara de facto, para pejabat publik kita harus patuh dan taat pada kehendak para debitor. Walau untuk itu harus merugikan bangsa dan rakyat Indonesia.
Nah, untuk semua penderitaan dan kesengsaraan ini, harus ada pelaku yang bertanggungjawab. Untuk semua potensi kemajuan dan kejayaan di masa depan yang lenyap ini, harus ada pelaku yang dihukum. Hukuman keras dan tegas akan menjadi pelajaran bagi siapa saja agar tidak mengulangi kesalahan serupa.
Kita tidak ingin mengulangi kealpaan eforia reformasi 1998. Bangsa ini tidak boleh masuk ke lubang yang sama untuk kedua (kesekian?) kalinya. Mengirim 100 orang Indonesia paling brengsek ke pulau terpencil bernyamuk malaria adalah satu solusinya. Dan, itulah solusi yang ditawarkan Rizal Ramli.
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)