TARGETÂ Pemerintah membangun infrastruktur di seluruh Indonesia tidak diikuti dengan kesiapan semua elemen dalam mencapai hal tersebut. Keselamatan Kerja menjadi salah satu faktor kelemahan dominan hingga menjadi momok menakutkan yang membayangi pelaksanaannya.
Pembangunan Infrastruktur serentak yang seolah mengejar target tersebut minim evaluasi bahkan bagi sebagian masyarakat seolah menjadi kewajaran yang menakutkan.
Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kecelakaan konstruksi yang terjadi di Indonesia dalam 6 bulan terakhir seperti:
Pertama, Proyek Light Rail Transit (LRT) di Palembang, Sumatera Selatan, Agustus 2017. Saat itu, dua unit crane dengan bobot 70 ton dan 80 ton yang sedang dioperasikan tiba-tiba jatuh dan mengenai sejumlah rumah warga di sana. Kecelakaan ini menimbulkan sejumlah warga yang berada di dalam rumah menjadi korban luka. Mulai dari luka ringan hingga luka berat.
Kedua, Jembatan tol penyeberangan orang pada pengerjaan proyek jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi atau Bocimi di Kabupaten Bogor, September 2017. Dugaan penyebab kecelakaan saat itu adalah karena tali sling yang belum terpasang saat hendak memasang badan jembatan sehingga jatuh menimpa para pekerja proyek. Kecelakaan ini menimbulkan seorang pekerja meninggal dunia dan dua lainnya mengalami luka-luka. Pekerja yang meninggal dunia karena langsung tertimpa badan jembatan, sementara korban selamat tetap mengalami luka serius.
Ketiga, Girder box jatuh di proyek jalan tol Pasuruan-Probolinggo, Jawa Timur pada Oktober 2017. Kecelakaan ini menimbulkan korban tewas satu orang yang sekaligus karyawan Waskita Karya dan korban luka dua orang selaku pekerja proyek.
Keempat, Jatuhnya crane di jalan tol Jakarta-Cikampek pada November 2017 dan ambruknya girder saat akan dipasang di proyek jalan tol Pemalang-Batang di Jawa Tengah, Desember 2017. Untuk dua kecelakaan kerja ini, tidak ada korban jiwa maupun korban luka.
Kelima, Konstruksi proyek Light Rapid Transit (LRT) di Jalan Kayu Raya, Pulo Gadung, Jakarta Timur, roboh pada Januari 2018. Lima pekerja proyek transportasi massal yang dikerjakan sejak pertengahan tahun 2016 itu terluka.
Keenam, Longsornya terowongan di Jalan Perimeter Selatan, bukanlah kecelakaan kerja karena terowongan itu sudah selesai dikerjakan dan telah digunakan untuk umum. Akan tetapi, proyek yang dikerjakan oleh Waskita Karya itu jadi sorotan setelah tanah di samping dinding beton terowongan longsor, menyebabkan dinding ambrol dan menimbun pengendara yang lewat, bersamaan dengan hujan deras.
Ketujuh, Crane pengangkut beton proyek Double Double Track (DDT) di Jalan Matraman Raya, Jatinegara, ambruk pada Februari 2018. Pada saat itu, kelima orang pekerja sedang menaikkan bantalan rel dengan menggunakan crane. Saat bantalan rel sudah di atas, dudukannya ternyata tidak pas, sehingga bantalan rel jatuh menimpa korban. Kecelakaan itu menimbulkan empat pekerja tewas, sementara sejumlah pekerja lainnya luka-luka.
Terakhir kejadian pagi ini, pear head proyek tol Becakayu (Bekasi Cawang Kampung Melayu) roboh pada pukul 03.00 WIB, Selasa 20 Februari 2018. Lokasi kejadian di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur. Sebanyak tujuh pekerja tertimpa reruntuhan. Empat orang berhasil dievakuasi. Tiga orang pekerja masih tertimbun. Sementara empat korban yang berhasil dievakuasi dilarikan ke RS Polri.
Uniknya jenis kecelakaan tersebut serupa dan seolah pelaksana pekerjaan maupun pemerintah tidak mengambil pelajaran dari kejadian serupa. Sungguh menakutkan dan tidak menutup kemungkinan akan semakin banyak kecelakaan lainnya yang mungkin terjadi ke depannya.
Meskipun pemerintah telah membentuk Komite Keselamatan Konstruksi (KKK) pada Januari lalu, akan tetapi, terbukti belum mampu mengurangi jumlah kecelakaan yang terjadi setiap bulannya. Hal ini terkesan hanya pencitraan untuk menenangkan kecemasan publik, belum mampu menjawab keinginan publik agar benar-benar zero accident.
Dan akhirnya demi kebut mengejar pembangunan nyawa menjadi taruhan.
Akhirnya wajar bila dikatakan bahwa projek pembangunan infrastruktur serentak saat ini masuk pada ranah darurat keselamatan kerja.
Harus ada langkah taktis dan strategis, pemerintah harus bertanggung jawab.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR melalui Komite Keselamatan Konstruksi untuk segera menuntaskan audit pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia yang sedang berlangsung.
Karena kecelakaan yang terjadi mayoritas kesalahan manusiawi bukan bencana alam.
Kita semua bisa menilai faktor kesalahan manusia sering dituding penyebab kecelakaan kerja konstruksi. Padahal akar persoalannya adalah sistem dan tata kelola ketenagakerjaan konstruksi yang masih bermasalah seperti kurang perhatian pada pekerja garis depan dan pengawasan yang intensif.
Hal ini perlu perhatian ekstra bagi pemerintah, dan kedepanya buktikan bahwa tidak ada lagi kecelakaan konstruksi, zero accident.
Kita juga melihat bahwa Proyek infrastruktur yang diburu target penyelesaian perlu tata kelola jam kerja atau shift sistem yang baik bagi para pekerja.
Pembagian shift perlu memperhatikan varian antara beban kerja karyawan garis depan dan kondisi lingkungan lokasi proyek. Banyak yang mengerti kondisi aktual para teknisi lapangan. Mereka dihadapkan pada beban kerja eksternal, internal, dan faktor-faktor yang sangat berpengaruh secara keseluruhan.
Selama ini, beban kerja teknisi proyek infrastruktur belum terukur secara konkret dan proporsional.
Akhirnya, kita mendorong agar pemerintah maupun pelaksana projek pekerjaan memastikan setiap proyek memiliki ISO 9001 dan 14001 yang diterapkan secara baik.
Efek lingkungan yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan karena getaran, temperatur, suara, dan polusi. Kemudian, pilihan peralatan atau mesin impor seharusnya secara teknis, ekonomis, dan ergonomis bisa dipertanggungjawabkan.
Seluruhnya harus kompatibel dengan kondisi sosial dan lingkungan. Dan biarlah ini yang terakhir, jangan ada lagi korban akibat kecerobohan dan target yang dipaksakan.
Wallahu a’lam
Oleh Nurhasan Zaidi, Anggota Komisi V DPR RI