TERKAIT dibahasnya RUU Pemilu yang ditargetkan selesai bulan April 2017 , maka mencuatlah wacana soal ‘Presidential Treshold’ atau ambang batas jumlah suara minimal yang harus diperoleh partai atau gabungan partai agar memiliki kewenangan untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Beberapa partai seperti Golkar, PDIP, PKS dan Nasdem mendorong agar diberlakukan ‘presidential treshold’ sebesar 20 persen. Sedangkan PPP, PKB, Hanura, Gerindra, dan PAN menolak hal tersebut dan menghendaki semua partai peserta pemilu dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden. Sementara Partai Demokrat masih belum bersikap.
MK telah memutuskan bahwa pada tahun 2019 diberlakukan pemilu serentak, yaitu pemilu legislatif dan pemilihan presiden berjalan serentak . Sehingga penghapusan ‘presidential treshold’ menjadi konsekuensi logis dari pada pemilu serentak, karena tidak ada ukuran yang bisa dipakai untuk menentukan perolehan suara partai karena pemilu legislatifnya belum dilaksanakan.
Kalau menggunakan perolehan suara pemilu sebelumnya yaitu 2014 akan sangat keliru, karena perolehan suara partai dalam pemilu akan naik turun tanpa bisa ditebak. PDIP suaranya anjlok dari 33,7 di 1999 menjadi hanya 18,5% di Pemilu 2004. Golkar suaranya anjlok dari 21,5% di Pemilu 2004 menjadi hanya 14,4%.di Pemilu 2009, kemudian bertahan di 14,7% saat Pemilu 2014.
Partai Demokrat secara aneh bin ajaib naik dari 7% di 2004 menjadi 21 % di Pemilu 2009 dan kemudian anjlok lagi menjadi hanya 10,2 % di Pemilu 2014.
Semua partai politik tahu persis mengenai data-data di atas sehingga tidak mungkin data perolehan suara Pemilu sebelumnya dipakai sebagai acuan dalam menentukan ‘presidential treshold’. Tetapi mengapa tetap ada beberapa partai yang ngotot dengan segala macam akrobat kata-kata untuk memberlakukan ‘presidential treshold’?
Padahal apabila perjuangan mereka berhasil menetapkan UU Pemilu yang memberlakukan ‘presidential treshold’, pasti akan ada yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi dan pasti akan kalah karena bertentangan dengan substansi keputusan MK sendiri yang final dan mengikat yang menetapkan Pemilu serentak di 2019.
Ada kepentingan yang tidak sehat di balik akrobat kata-kata dari partai-partai yang menginginkan diberlakukannya ‘presidential treshold’ . Yang pertama adalah mereka bisa memblokir partai-partai lain yang relatif lebih kecil agar tidak dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden sendiri dan memaksa mereka bergabung dengan kelompok partai besar.
Yang kedua adalah agar terjadi bisnis atau transaksi uang mahar yang dipusatkan kepada kelompok partai besar sehingga nilai transaksinya menjadi besar. Bila tidak ada ‘presidential treshold’ maka uang mahar akan terpecah-pecah ke berbagai partai sehingga besaran nominal uangnya yang didapat oleh kelompok partai besar menjadi lebih kecil.
Bisnis uang mahar atau setoran uang mahar dalam pilkada, pemilu legislatif maupun pilpres sudah menjadi rahasia umum dan sudah dialami sendiri oleh banyak orang yang pernah mencalonkan diri atau akan mencalonkan diri.
Namun sampai sekarang belum ada yang terkena OTT (operasi tangkap tangan) KPK karena mungkin para pimpinan partai itu banyak juga yang bukan pejabat negara sehingga tidak tercakup dalam UU Tipikor atau memang KPK tidak mempunyai keberanian.
Padahal bisnis uang mahar inilah cikal bakal korupsi di seluruh Indonesia yang menyebabkan para pejabat hasil pilkada atau pemilu tidak henti-hentinya melakukan korupsi untuk mengembalikan pengeluaran uang maharnya ditambah keuntungan pribadinya.
Ada sekitar 370 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi diseluruh Indonesia dan diantaranya 8 gubernur. Karena itu bisnis uang mahar melalui pemberlakuan ‘presidential treshold’ harus dihapuskan
Oleh Abdulrachim K, Aktivis 77/78