Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
DI DALAM Kitab Pararaton dikisahkan ada perempuan yang bikin Ken Arok jatuh cinta.
Perempuan yang dimitoskan sebagai cikal-bakal bagi raja-raja Jawa ini bernama Ken Dedes.
Suatu hari waktu pesiar di taman, saat hendak turun dari kereta, kain Ken Dedes secara tak sengaja tersingkap hingga ke betis.
Kejadian ini dilihat oleh Ken Arok, yang langsung terpesona, karena dari betis itu terpancar sebuah sinar yang sangat luar biasa …
Sinar apakah itu?
Ternyata itu adalah pertanda bahwa Ken Dedes merupakan perempuan nariswari.
Syahdan, laki-laki yang menikahi perempuan seperti itu akan menjadi raja besar. Termasuk seluruh keturunannya.
Inilah salah satu cerita klasik di tanah air yang sejak lama kita kenal, tentang tahta, wanita, dan harta. Dimana di dalamnya selalu diikuti intrik, hingga perkawinan politik.
Pararaton kemudian menceritakan Ken Arok akhirnya membunuh Tunggul Ametung, suami Ken Dedes, agar dapat dikawini, sekaligus merebut tahta Tunggul Ametung.
Ia memakai keris Empu Gandring yang tewas pula ditikamnya. Kebon Ijo yang diperalat kemudian menjadi tersangka.
Di dalam ilmu sejarah genealogi dapat digunakan sebagai ilmu-bantu. Ia mempelajari garis keturunan dan silsilah seseorang, termasuk sejarah keluarga atau dinasti politik.
Raja-raja di Eropa dan juga Nusantara secara genealogi dapat ditelusuri. Mereka umumnya memiliki silsilah dari garis keturunan yang sama, karena praktek perkawinan politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Perkawinan politik dalam banyak hal ternyata seringkali berdampak buruk. Bukan hanya karena umumnya dilakukan karena motif kekuasaan, tetapi juga mengandung conflict of interest yang dalam banyak kisah kerapkali memicu terjadinya perang tahta di dalam keluarga penguasa, yang akhirnya menyengsarakan rakyat dan menyebabkan disintegrasi.
Kenapa terjadi perkawinan politik?
Karena di dalam mindset penguasa feodal yang jangkauan pemikirannya jauh dari penghargaan terhadap konstitusi dan demokrasi terdapat watak greedy, yang menganggap kekuasaan dan aset-aset negara adalah milik pribadi.
Karena itu harus dipertahankan berdasarkan “azas kekeluargaan”.
Kalau di Eropa sejak ratusan tahun lalu monarki absolut mau berbagi kekuasaan dengan rakyat, sehingga di Inggris misalnya lahir Magna Charta, di sini perkawinan politik yang dilandasi oleh mindset feodal yang berakar pada watak greedy dan dicomblangi kepentingan oligarki makin berpotensi membajak demokrasi, karena upaya berbagai elemen pro demokrasi untuk menggugat presidential treshold 20 persen semakin berpeluang menghadapi hambatan baru dan akan semakin berdampak buruk terhadap ketatanegaraan.
Dalam kaitan ini belakangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman semakin menjadi sorotan publik, bukan saja karena harta kekayaannya menurut LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dalam setahun naik fantastis, oleh banyak kalangan integritas dan kredibilitasnya juga semakin dipertanyakan setelah terbetik pula kabar akan menikahi adik Jokowi.
MK yang dipimpinnya memiliki rekam jejak yang tidak memihak kepada rakyat. Antara lain upaya judicial review terhadap omnibus law dan presidential treshold selama ini ditolak MK dengan argumen-argumen basi dan norak.
Senada dengan desakan berbagai elemen masyarakat pro demokrasi yang menuntut Anwar Usman supaya mundur, tokoh nasional Dr Rizal Ramli melalui akun twitter-nya baru-baru ini juga menegaskan hal serupa.
Ia menulis singkat agar Anwar Usman mundur dan sebagai hakim seharusnya berpegang teguh kepada standar moral dan etika.
“Mundur euui, malu atuh,” tandas Rizal Ramli.
Standar moral dan etika memang sangat diperlukan, lebih-lebih bagi seorang hakim yang karena otoritasnya sangat berhubungan dengan keadilan dianggap merupakan Wakil Tuhan di muka bumi.
[***]