PEMILU 2019 berakhir buntu. Pesta demokrasi berujung sengketa. Apa yang sebenarnya terjadi?
Salah satu cara menjelaskan peristiwa pemilu kelu itu adalah dengan menggunakan teori hegemoni.
Hegemoni berarti dominasi atau penguasaan. Dulu di Pulau Jawa ada negara Singasari yang mendominasi negara-negara sekitarnya.
Singasari adalah negara hegemoni, raja-raja bawahan tidak boleh melakukan tindakan politik apapun tanpa ijin raja Singasari.
Namun Singasari akan menemukan tandingannya, ia akan diminta takluk kepada Kaisar Cina. Hegemoni adalah hubungan paling normal antar-negara, sekarang pun masih seperti itu.
Namun Antonio Gramsci melangkah lebih jauh, ia mengatakan bahwa pola hubungan hegemoni tidak hanya terjadi antar-negara saja tetapi bisa terjadi di dalam suatu negara.
Yaitu ketika kelompok sosial tertentu ingin mendominasi kelompok sosial lainnya. Wilayah konfliknya di masyarakat sipil.
Caranya adalah dengan manufacturing caonsent atau merekayasa kesepakatan-kesepakatan di publik, sedangkan sasarannya adalah memperoleh legitimasi.
Kesepakatan-kesepakatan di dalam masyarakat terkodifikasi dalam bentuk nilai, norma, kebiasaan, tata-cara, adab, kesopanan, etika dan sebagainya di masyarakat itu.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut mengendap di dalam kebudayaan. Sesuatu yang sudah menjadi budaya akan dianggap normal dan direproduksi untuk diteruskan kepada generasi-generasi mendatang.
Pola hubungan hegemonis yang terpetakan di dalam struktur dan kultur disebut oleh Gramsci sebagai hegemoni kultural.
Adalah menjadi impian setiap kelompok sosial atau politik bila cara berpikir dan cara hidup mereka menjadi budaya normal suatu bangsa kemudian direproduksi dari generasi ke generasi.
Hegemoni adalah pola hubungan yang umum dalam kebudayaan suatu masyarakat.
Tidak mengherankan bila kita menyaksikan pertarungan tak ada habis dalam institusi-institusi yang membentuk pikiran dan jiwa publik seperti media massa, sekolah, lembaga-lembaga agama, dan perguruan tinggi.
Puncak pertarungan itu adalah pemilihan umum, yaitu ketika negara memberi kesempatan kepada setiap kelompok sosial untuk sekali dalam lima tahun merebut kekuasaan menyelenggarakan negara. Pemilu adalah tiket hegemoni lima tahun sekali.
Akan tetapi perlu diingat, pemilihan umum itu hanya bermakna bila perebutan kuasa tidak merusak platform kenegaraan. Dalam kerangka itu pemilu harus dilaksanakan dalam kejujuran dan keadilan.
Seperti dalam olahraga, betapapun keras persaingan semua kontestan akan menyambut apapun hasilnya dengan sukacita manakala kalah-menang diperoleh dari persaingan yang jujur dan adil.
Sebaliknya, pemilu yang tidak jujur menimbulkan kemarahan yang tidak mudah didamaikan, membelah masyarakat dan pada akhirnya bisa meruntuhkan negara.
Oleh Radhar Tribaskoro, Juru Bicara BPN Jabar