KedaiPena.Com – Penyebaran wabah Corona akan mempercepat meletusnya gelembung-gelembung (bubbles) ekonomi yang sudah eksis di perekonomian Indonesia sejak setahun tahun belakangan. Gelembung makroekonomi, korporasi, fintech, dan daya beli sudah meletus satu per satu. Koreksi besar telah dimulai.
Demikian disampaikan analis ekonomi Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra kepada KedaiPena.Com, Selasa (14/4/2020).
“Hal ini seperti yang saya tuliskan sebulan lalu, 5 Maret 2020. Nilai kurs rupiah yang sejak awal tahun 2020 berada di kisaran Rp 13.800/USD sempat mencapai titik terlemahnya, di akhir Maret saat bank mulai bertransaksi kurs di kisaran Rp 17.000/USD, atau anjlok 23 persen dari posisi awal tahun,” ujarnya.
Hal ini ditandai dengan keluarnya modal asing dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 153,4 triliun dan Rp 13,4 triliun dari pasar saham. Serangkaian kebijakan seperti upaya stimulus Bank Indonesia sebesar Rp 300-an triliun dan Kementerian Keuangan yang menerbitkan global bond “terlama” USD 6 miliar cukup menguatkan Rupiah hingga ke level Rp 15.700 hari ini.
“Jatuhnya pasar saham Indonesia, yang ditunjukkan penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sempat menyentuh level 3,900-an pada akhir Maret 2020, atau jatuh sebesar 34% bila dibandingkan dengan posisi awal tahun (6,200). Meskipun posisi IHSG sempat membaik hingga saat ke level 4.600 akibat stimulus pemerintah dan BI, tapi kerusakan telah terlanjur terjadi,” apar Gede.
Dana kelolaan industri reksadana nasional turun Rp 53 triliun dalam bulan Maret 2020. Koperasi Indosurya juga mengalami gagal bayar kepada nasabahnya hingga Rp 10 triliun.
Berbagai startup mulai berguguran, terutama yang terkait dengan Soft Bank, contohnya: OneWeb, WeWork, Cloudmind, setelah bank asal Jepang ini mencatatkan kerugian sebesar USD 16,7 miliar hingga Maret 2020. Beberapa startup besar lain juga mulai mem-PHK karyawannya, sebut saja: Iris Nova, The Wing, ClassPass, RigUp, Thumbtack, Rover, KeepTruckin.
“Bukalapak sudah lebih dahulu mem-PHK karyawannya sejak akhir tahun lalu, belum ini startup yang bergerak di bidang kuliner (seperti Kopi Kenangan) sudah mulai melakukan pemotongan besar-besaran gaji eksekutifnya agar bisnisnya tidak bangkrut. Gopay menggratiskan biaya top-up dan diskon 50% pengisian saldo LinkAja,” Gede menambahkan.
Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, per 7 April yang melakukan PHK sudah sebanyak 39 ribu perusahaan dengan jumlah pekerja diPHK sebanyak 1 juta orang. Jumlah ini belum ditambah dengan rontoknya juga puluhan ribu usaha kecil menengah yang sifatnya informal di perkotaan Indonesia selama wabah Corona.
Hancurnya daya beli masyarakat perkotaan sudah berimbas ke pedesaan. Banyaknya gagal panen di daerah pedesaan yang diakibatkan cuaca ekstrim sejak awal 2020 sudah terjadi dan akan terus terjadi selama musim panen, sehingga masyarakat desa yang seharusnya sejahtera saat panen malah kekurangan uang cash.
“Bila tidak ada Corona, kami memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan turun ke kisaran 4%. Namun, karena ada Corona kami prediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2020 akan jatuh ke kisaran positif 2%,” ungkapnya.
Yang menjadi tanda tanya adalah, mengapa Kementerian Keuangan berubah sikap hanya dalam seminggu, dari optimis ke sangat pesimis. Awalnya pada 25 Maret 2020, Menteri Keuangan meyebut ekonomi Indonesia masih akan tumbuh positif 2,3% karena Corona, namun seminggu kemudian (pada 1 April 2020) mendedak menjadi sangat pesimis dan mengatakan ekonomi dapat berkontraksi ke negatif (-) 0,4%.
Ini sangat aneh, seperti ada siasat di baliknya. Tumben Kementerian Keuangan dapat bersikap lebih pesimis dari kami. Padahal lembaga dunia seperti Economic Intellegence Unit (IEU) saja menyatakan bahwa ekonomi Indonesia diproyeksikan tetap akan tumbuh positif, meskipun hanya 1%, sepanjang 2020.
“Sikap Kementerian Keuangan yang over pesimis ini sepertinya dilakukan untuk menjustifikasi pelebaran budget defisit dari 2% ke 5%. Agar ada kesempatan untuk pinjam lebih besar lagi. Setiap tambahan 1% defisit artinya harus ada tambahan Rp 170-an triliun utang baru. Artinya bila dibutuhkan 5% defisit, maka diperlukan Rp 850-an triliun utang baru. Ini jumlah yang sangat besar, dan pemerintah tampak terlalu sigap sehingga menjadi silap mata,” Gede melanjutkan.
Hingga Maret 2020, pemerintah sudah terbitkan surat utang sebesar Rp 173,3 triliun dan menandatangani pinjaman luar negeri senilai USD 1,15 miliar (Rp 18 triliun).
Seminggu lalu, April 2020, pemerintah menerbitkan Global Bond senilai USD 4,3 miliar (Rp 68 triliun).
“Saya akan ulas tentang Global Bond yang banjir pujian sebagai yang terbesar dalam sejarah Indonesia, yang secara gencar dikabarkan sebagai kebaikan oleh para buzzer pemerintah. Akan coba diungkap “siasat rentenir” di balik penerbitan Global Bond tersebut agar publik menjadi paham silapnya pemerintah,” jelas Gede.
Global Bond tersebut terbagi menjadi 3 jenis surat utang: (1) Global Bond RI 1030, sebesar USD 1,65 miliar, dengan bunga 3,9% dan tenor 10 tahun; (2) Global Bond RI 1050, sebesar USD 1,65 miliar dollar, dengan bunga 4,25% dan tenor 30 tahun; dan (3) Global Bond RI 0470, sebesar USD 1 miliar, dengan bunga 4,5%.
Bila disimulasikan sampai masing-masing bond berakhir, ternyata total bunga Global Bond yang harus dibayar selama tenor pinjaman melebihi dari besar pokok Global Bond itu sendiri. Dapat dilihat pada tabel di bawah, ternyata total bunga yang harus dibayar mencapai USD 4,9 miliar. Jadi dari USD 4,3 miliar yang harus dikembalikan saat jatuh tempo, pemerintah Indonesia masih harus membayar bunga yang totalnya USD 4,9 miliar, atau 110% dari pokok.
“Hanya di rentenir lah kita bayar bunga lebih tinggi dari pokok. Belum lagi beban yang akan bertambah bila di masa mendatang nilai kurs Rupiah ternyata melemah terhadap USD. Malang benar nasib Bangsa ini. Sudah jatuh karena resesi dan wabah, akibat silap penguasa, masih harus terjerat siasat rentenir,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh