TIDAK mungkin peristiwa pembakaran bendera Tauhid itu dinisbahkan sebagai tanggung-jawab pribadi anggota Banser terkait. Mereka cuma anak remaja umur belasan tahun, tidak mungkin melakukan tindakan drastis tanpa pengaruh dari orang dewasa.
Syukurlah Yaqut Cholil Ketua Umum GP Ansor, organisasi induk Banser, mengambil-alih tanggung-jawab. Ia mengatakan bahwa tindakan pembakaran itu dilakukan kepada bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pertanyaannya, mengapa begitu besar kebencian kepada HTI sehingga atribut mereka mesti dibakari?
Siapakah HTI?
Anda tidak akan menemukan jawaban moral atas pertanyaan saya di atas. Sebab HTI bukan organisasi kekerasan. Memang mereka mencita-citakan negara khilafah, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang damai.
Melalui demonstrasi tanpa hiruk-pikuk dan dihadiri oleh emak-emak sambil mengasuh anak-anak mereka, mereka berwacana di publik. Mereka punya program-program kongkrit untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
HTI adalah Islam dengan wajah yang ramah. Mereka tidak membawa parang dan mempersekusi siapapun. Mereka hanya kontroversial berkaitan dengan pandangan politiknya saja.
Di dalam negara demokrasi memiliki pandangan politik, betapapun berbeda, bukanlah dosa. Dosa atau kesalahan dalam demokrasi melekat kepada perbuatan, bukan kepada pandangan atau pemikiran.
Kebebasan berpikir justru adalah kekuatan demokrasi. Melalui kebebasan itu kreativitas dan inovasi didorong sejauh mungkin untuk memperluas wawasan kehidupan manusia.
Tragisnya, organisasi HTI dilarang karena pandangan politiknya dianggap bertentangan dengan Pancasila. Lepas dari itu organisasi damai ini kemudian disatanisasi. Semua teror, intoleransi, persekusi, pembungkaman dianggap kesalahan mereka.
Dalam konteks satanisasi itulah kita bisa memahami mengapa Banser begitu membenci HTI.
NU dan Stanisasi HTI
Tetapi mengapa satanisasi HTI? HTI tidak pernah tersangkut kepada tindak kekerasan, razia, persekusi, pengancaman apapun. Mengapa mereka dikejar-kejar seperti penjahat sadis?
Pertanyaan ini tidak akan bisa dijawab oleh Ketum GP Anshor. Karena mereka cuma operator dari organisasi yang lebih tinggi lagi. Dan itu bukan NU, organisasi induk GP Anshor. Mengapa?
NU juga organisasi yang damai. Banyak orang-orang di NU malah ngotot mau minta maaf kepada PKI yang tahun 50-60an banyak membantai ulama dan santri NU. Begitu lembut (atau naif) orang NU itu. Lantas, apa urusan NU harus membenci HTI (sampai segitunya, membakar-bakar)?
Wacana khilafah yang diusung HTI sudah dibahas tuntas oleh NU berpuluh tahun sebelumnya. Oleh karena itu, argumen khilafah dari HTI misalnya dipatahkan dengan mudah oleh Mahfud MD dalam sebuah artikel yang dimuat di salah satu media massa (seingat saya).
Pada masa pra-reformasi, NU adalah ladang persemaian pemikiran-pemikiran alternatif. NU sangat cinta wacana, mencerahkan dan menggairahkan. NU yang seperti ini pasti sama sekali tidak terganggu oleh apapun yang dilemparkan oleh HTI ke pasar wacana.
Pasti ada satu alasan mengapa NU “wacana” berubah menjadi NU “bakar-bakar” seperti sekarang ini. Pasti ada alasan atas “irasionalitas” NU belakangan ini.
NU Politik
NU ternyata memiliki organisasi lain yang mungkin pengaruhnya telah mengatasi NU itu sendiri. Organisasi tersebut adalah sebuah partai politik bernama Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB. Seperti halnya partai politik lain, orientasi PKB adalah mengejar kekuasaan.
PKB adalah partai politik yang paling sadar kepada akarnya. Kader-kadernya sangat rajin membina akar konstituen mereka yang tidak lain adalah jamah NU. Keterikatan tersebut menjadikan PKB identik dengan NU, dalam arti kepengurusan NU di semua tingkatan tidak akan terlepas dari pengaruh kader-kader politik PKB.
Bagi NU dan PKB tentu saja kecenderungan di atas sangat baik, PKB mengaktualisasikan perannya sebagai agregator kepentingan NU di lapangan politik.
Namun pengejaran PKB kepada kekuasaan memberi dampak melemahnya NU sebagai kekuatan pemikiran.
NU menjadi bagian dari penguasa. Dalam peran barunya itu NU harus memberikan pembenaran atas kebijakan pemerintah. Sementara, politik adalah wilayah abu-abu, yang bekerja dalam logika kalah-menang. Wilayah itu pastilah bukan wilayah NU yang logika operasionalnya adalah terang-gelap, benar-salah.
Terjunnya NU ke wilayah kekuasaan politik, saya kira, terkait dengan lemahnya organisasi PKB. NU harus terus menyusui PKB melalui wibawa dan pengaruhnya kepada presiden.
Langkah NU memasuki politik kekuasaan mengubah jati diri NU dari gerakan pemikiran menjadi politik hegemoni. Mudah memang mempersepsikan bahwa NU telah sukses karena (sepertinya) berhasil menyingkirkan lawan-lawan pemikirannya.
Tetapi dunia pemikiran tidak bekerja seperti dunia material. Mereka yang dipersepsikan sebagai musuh oleh NU, nampaknya justru semakin kuat belakangan ini.
Oleh Radhar Tribaskoro, Ketua Forum Aktivis Bandung