PERNYATAAN Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) terkait dukungannya kepada Joko Widodo atau Jokowi untuk memimpin pemerintahan selama dua periode belum bisa disimpulkan bahwa TGB telah mengubah sikap politiknya.
Disebut berubah itu kan kalau dulu ia memilih A, sekarang dia memilih B. Dulu dia menentang, kini mendukung. Itu baru bisa disebut berubah.
Tetapi kalau dulu dia pilih Prabowo Subianto dan sekarang dia memilih Jokowi, itu belum bisa disebut berubah. Kenapa? karena Prabowo sendiri belum pasti benar akan berhadapan kembali melawan Jokowi. Kalau keduanya nanti sudah dipastikan ‘head to head’ kembali, maka pantaslah jika ada orang yang berkata: Oh, TGB ternyata memang sudah berubah.
Demikian juga TGB belum bisa disebut berubah karena selama Jokowi memerintah ia tidak pernah menentang Jokowi dalam arti mengambil peran sebagai ‘oposisi’.
Tetapi saya paham ketika sebagian orang menilai TGB kini telah berubah dan bahkan menyebut ia kini tidak ada bedanya dengan Ali Mochtar Ngabalin yang sudah jelas-jelas mengubah pandangan politiknya.
Pendapat yang demikian itu saya perhatikan muncul karena masyarakat memiliki cara pandangnya sendiri. Pertama, sebagian masyarakat selama ini kadung menempatkan TGB sebagai ‘oposan’ Jokowi. Padahal menurut saya tidak demikian.
Selama menjabat sebagai Gubernur NTB pada masa pemerintahan sekarang, saya belum menemukan ada pandangan TGB yang katakanlah bersifat menyerang Jokowi. Kalau sekedar berbeda, itu tidak bisa dijadikan ukuran. Sebab Jokowi pun seringkali beda dengan menteri-menterinya, bahkan dengan Wakil Presiden sekalipun.
Lagi pula, TGB bukan Anggota Partai Gerindra, PKS, atau PAN yang selama ini sering disebut sebagai kelompok ‘oposisi’. Dia adalah Anggota Partai Demokrat yang sebetulnya belum cukup syarat dan kriteria untuk digolongkan sebagai ‘oposisi’.
Kedua, TGB selama ini dipandang sebagai tokoh yang berada dalam gerbong ulama pendukung pemenjaraan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dinyatakan melakukan penistaan agama oleh Negara. TGB bahkan ikut serta dalam Aksi 411 dan mendukung Aksi 212.
Dukungan terhadap aksi massa terbesar dan pengelompokkan dirinya sebagai ulama penekan pemerintah agar memenjarakan Ahok itulah yang dijadikan ukuran oleh sebagian masyarakat untuk memosisikan TGB sebagai orang yang anti terhadap Jokowi.
Padahal, peserta Aksi 411 dan aksi 212 tidak semuanya adalah kelompok penentang Jokowi. Saya punya banyak teman dari PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura yang juga ikut dalam Aksi 411 dan Aksi 212.
Jadi, menilai TGB telah berubah dengan ukuran dia merupakan ‘alumni’ dari aksi-aksi tersebut menurut saya sebuah pemetaan yang kurang tepat. Itu simplikasi.
Tetapi soal pandangan sebagian masyarakat bahwa ketegasan TGB mendukung Jokowi memiliki keterkaitan dengan suatu kasus hukum yang saat ini sedang ditangani oleh KPK dan melibatkan TGB sebagai salah seorang saksi atau sikap TGB ini ada kaitannya dengan Pilpres 2019, disini menariknya*.
Pada soal yang pertama, masyarakat seperti ingin menghubungkan posisi TGB* dengan beberapa tokoh politik lain yang sebelumnya cenderung berseberangan dengan Jokowi, tetapi setelah dikaitkan dengan suatu kasus hukum, sikap yang bersangkutan berubah menjadi pendukung Jokowi. Setidaknya ada dua ketua umum partai yang dijadikan contoh oleh masyarakat.
Nah, pada soal ini muncul dua pandangan. Kesatu, sebagian masyarakat menduga bahwa kasus hukum yang menyeret TGB termasuk juga tokoh politik yang lain, walaupun mereka belum dipastikan terlibat, merupakan ‘kerjaan’ penguasa untuk menyandera yang bersangkutan dengan menggunakan tangan penegak hukum.
Mereka berusaha ditekan karena dianggap berpotensi mengganggu atau merugikan penguasa secara politik maupun elektoral. Dengan kata lain, sebagian masyarakat ini curiga ada semacam ‘persekongkolan jahat’ yang dilakukan oleh penguasa dan penegak hukum.
Saya sendiri tidak bisa memastikan pandangan masyarakat tersebut. Sebab jika kasus hukumnya ditangani oleh KPK, saya cenderung percaya institusi itu relatif steril dari penguasa. Bahwa ada satu-dua kasus di KPK yang dicurigai oleh masyarakat ada campur tangan penguasa di dalamnya, biarkan waktu yang nanti akan menjawabnya.
Selain itu, ada pula pandangan yang kedua dari masyarakat dengan memunculkan dugaan bahwa kasus yang sedang ditangani KPK dan menyertakan TGB sebagai salah seorang saksi sebetulnya kasus hukum murni yang kebetulan muncul di tahun politik sehingga dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan politiknya. Artinya, tidak ada ‘kongkalikong’ antara penguasa dan penegak hukum dalam hal ini.
Nah, terkadang memang muncul suatu kondisi: ketika seseorang sedang diliputi ketakutan atau berada dalam posisi terancam, dia cenderung akan mencari dukungan dan perlindungan dari pihak lain yang dianggap dapat melepaskan dirinya dari acaman dan rasa takut itu.
Apakah TGB berada dalam situasi yang demikian? saya tidak tahu. Bisa saja benar, bisa juga tidak. Sebab dalam kasus yang sedang ditangani KPK, status TGB adalah saksi. Ada banyak contoh kasus yang membuktikan seorang saksi tidak selalu berujung menjadi tersangka.
Sekarang soal yang kedua, yaitu soal sikap politik TGB yang mendukung Jokowi dikaitkan dengan Pilpres 2019. Pada soal ini mungkin saja memang ada hubungannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa TGB merupakan salah satu tokoh yang sejak lama digadang-gadang menjadi calon Presiden (capres) atau calon Wakil Presiden (cawapres). Dia dianggap layak karena setidaknya punya tiga modal.
Pertama, TGB berasal dari luar Jawa. Faktor non-Jawa seringkali dianggap penting dalam penentuan figur capres atau cawapres. Kedua, TGB terbukti berhasil menghimpun suara Pilpres secara signifikan di daerahnya.
Kemenangan terbesar kedua pasangan Prabowo-Hatta atas pasangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014 terjadi di provinsi yang dipimpin oleh TGB. Di NTB, Prabowo-Hatta memperoleh 72.45%. Angka itu dibawah Sumatera Barat yang memenangkan Prabowo-Hatta hampir 77% suara.
Ketiga, TGB dipandang sebagai seorang tokoh Islam berpengaruh yang punya banyak pendukung di seluruh Indonesia, tidak hanya di NTB.
Tidak terhitung ormas berbasis massa Islam dan para ulama terkemuka yang pernah menyebutnya pantas menjadi capres atau cawapres, walaupun pasca-pernyataannya untuk mendukung Jokowi, mulai muncul suara dari sejumlah pihak yang akan menarik dukungannya kepada TGB.
Nah, beberapa kelebihan TGB itu sepertinya bertemu dengan kebutuhan Jokowi untuk pencalonan kembali dirinya di Pilpres 2019 nanti. Jokowi sudah berhitung bahwa untuk bisa menang dan memegang kembali kendali pemerintahan, dia butuh figur seperti TGB.
Jadi mungkin saja sebelum menyatakan dukungannya kepada Jokowi, TGB sudah mengawali pembicaraan dengan Jokowi atau dengan pihak lain di lingkaran Istana terkait hal itu. Mungkin juga dalam pertemuan mereka itu muncul gagasan untuk menduetkan Jokowi-TGB di Pilpres 2019, dan TGB setuju.
Jika itu yang terjadi, maka saya meyakini bahwa TGB pasti telah menyampaikan ide tersebut kepada para tokoh ormas dan ulama yang selama ini mendukungnya. Tokoh-tokoh berpengaruh seperti Ustad Abdul Somad, Aa Gym, dan Ustad Arifin Ilham boleh jadi sudah lebih dulu mengetahui sikap TGB, sebelum ia menyampaikannya kepada publik.
Oleh Pengamat Politik Said Sahaluddin