KedaiPena.Com – Pemerhati sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan, migrasi suara itu sangat mungkin terjadi.
Sebab faktanya dari pemilu 1999 sampai pemilu 2014 ada fenomena migrasi suara atau perpindahan pilihan politik (swing voters) setiap kali pemilu. Dan angka perpindahan pilihan politik itu bisa mencapai kurang lebih 16%.
“Misalnya ada partai politik yang pemilu sebelumnya mendapat suara nasional sebanyak 26% tetapi pada pemilu berikutnya hanya memperoleh suara nasional sebesar kurang lebih 10%,” ujar Ubed, sapaannya.
Karena fakta tersebut, tambah dia, polanya permanen dari tahun ke tahun atau selalu ada migrasi setiap pemilu, maka ini menunjukan ada semacam pola permanen pemilih melakukan migrasi. Pola migrasi suara ini juga dimungkinkan terjadi pada pemilihan presiden.
“Penjelasan LIPI yang menunjukan adanya migrasi suara jelang hari pemilihan membenarkan fakta pada pemilu-pemilu sebelumnya di Indonesia,” sambungnya.
Menurut analisis dan data yang dimiliki, Ubed menjelaskan, minimal ada tiga faktor yang membuat terjadinya migrasi pemilih dalam menjatuhkan pilihan.
“Pertama, karena faktor kecewa pada pilihan politik sebelumnya yang dianggap gagal mewujudkan aspirasinya. Kedua, karena ada calon pilihan politik yang kebih menarik baik program maupun pesona personalnya. Ketiga, karena intensitas interaksi politik yang lebih tinggi dengan pilihan baru politiknya,” lanjut dia.
Dengan kondisi demikian, Ubed menjelaskan kemungkinan pasangan petahana Jokowi-Ma’ruf kalah selalu ada. Sebab migrasi pemilih di Indonesia angkanya menjadi penentu kemenangan.
“Apalagi elektabilitas petahana tidak sampai 50% seperti yang juga ditemukan dalam survei Kompas bulan ini,” tandas Ubed.
Sebelumnya Peneliti Bidang Perkembangan Politik Nasional Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI), Aisyah Putri Budiatri mengingatkan adanya potensi migrasi suara menjelang hari pemilihan 17 April 2019.
Sebab, kubu Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga belum ada yang memperlihatkan perbedaan program yang kontras sehingga sangat sulit merebut pemilih pengambang (swing voters) yang belum menentukan pilihan.
Pelajaran penting bisa diambil dari Pemilu Amerika Serikat yakni pemilihan antara Donald Trump dan Hillary Clinton. Hillary kalah karena pemilihnya yang sudah loyal tidak datang ke TPS. Sudah yakin akan menang adalah kesalahan tim sukses Hillary.
Survei berbagai lembaga menunjukkan mayoritas responden tidak setuju golput. Angkanya signifikan dengan presentasi yang tinggi.
“Kalau misalnya salah satu pasangan saja bisa merebut hati yang golput, maka angka migrasi suaranya bisa sangat banyak,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi