KedaiPena.Com – Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sebenarnya sebuah rangkaian dari kepentingan besar sistem ekonomi neoliberalisme dan globalisasi. Perdagangan bebas tanpa hambatan yang membiarkan arus barang, jasa, modal tanpa intervensi negara adalah salah satu poin dalam Washington Consensus. Dan Indonesia menerima hal ini tanpa persiapan yang matang.
Begitu dikatakan Aditya Iskandar, Presidium Solidaritas untuk Pergerakan Aktivis Indonesia (Suropati) dalam diskusi ‘Memahami Peran dan Fungsi Ekonomi Syariah di Tengah- Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)’ di Jakarta, tempo waktu.
“Indonesia juga terlalu pede akan mampu menguasai ekonomi Asean atas dasar melihat PDB Indonesia yang terbesar di ASEAN sebesar USS 845 Miliar. Kita lupa, bahwa pendapatan perkapita kita masih kalah dari Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam. Hal ini menunjukan kesenjangan sosial kita masih besar,” tegas dia.
Ekspor Indonesia ke negara Asean, sambung Adit, sapaannya, juga baru 22 persen. Sedangkan impor negara Asean ke Indonesia mencapai 28 persen. Hal ini membuktikan Indonesia belum optimal menguasai pasar Asean.
“MEA juga harus kita cermati terhadap serbuan tenaga kerja asing di sektor profesional. Kalau pemerintah tidak mempersiapkan manusia Indonesia untuk bertarung di dalam MEA, maka orang Indonesia akan menjadi penonton di Negeri Sendiri. Otomatis akan menambah pengangguran,” jelas Adit.
Tenaga kerja berpendidikan SMP ke bawah juga terbanyak di Indonesia. “Lalu pemerintah bilang siap menghadapi MEA, apa yang sudah dilakukan selama ini memperbaiki dunia pendidikan di Indonesia?,” kata dia lagi
“Namun ancaman di MEA juga harus kita hadapi dan kita kelola menjadi peluang. Contoh kita harus bisa berfikir, nasi uduk nanti jadi makanan favorit di Thailand. Jadi buka rumah makan nasi uduk yang baik di Thailand,” pungkas Adit.
(Prw/Foto: Istimewa)