Artikel ini ditulis oleh Radhar Tribaskoro, Pengamat Politik.
Artikel Mayjen Kunto Arief Wibowo, Pangdam III Siliwangi, berjudul “Etika Menuju 2024” di Kompas.com 10 April 2023, telah menjadi viral.
Dalam artikelnya itu Mayjen Kunto menyampaikan harapannya agar pemilu berlangsung jurdil. Bila tidak, Mayjen Kunto khawatir TNI akan terdorong untuk “maju selangkah” meluruskan keadaan.
Artikel tersebut mendapat dukungan banyak pihak, sedikit saja yang menentang. Salah satu penentang itu adalah Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Demokratis.
Koalisi tidak menentang keinginan Kunto agar pemilu berlangsung jurdil, namun mengkhawatirkan kehadiran TNI dalam politik.
Perlu diketahui keterlibatan TNI dalam politik praktis selama 32 tahun Orde Baru telah meninggalkan trauma yang mendalam pada jiwa rakyat Indonesia.
Namun seberapa serius pernyataan Kunto itu? Kita mengetahui bahwa dalam 25 tahun terakhir TNI telah menunjukkan keseriusannya untuk meninggalkan politik.
Menurut hemat saya sekarang TNI tidak memiliki hasrat politik praktis itu lagi. Walau begitu kita pun mengetahui bahwa TNI adalah patriot, mereka tidak akan tinggal diam apalagi ketika negara dan bangsa terancam terpecah-belah.
Keseriusan itu tidak hanya dilihat dari seriusnya subjek (TNI) pernyataannya tetapi juga dari seriusnya kondisi yang dinyatakan. Seberapa sulit mewujudkan pemilu jurdil di Indonesia?
Gilmore III (2019), Dubes AS untuk Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa, mengatakan bahwa pemilu jurdil adalah syarat minimum atau fondasi dari demokrasi yang sehat.
Tanpa pemilu jurdil tidak ada demokrasi. Lalu, seberapa serius ketidak-jurdilan pemilu kita sehingga seorang Pangdam TNI merasa perlu memperingatkan hal itu?
Kegagalan Sipil dan Pemilu
Sejak tahun 1945 s/d 1965, militer Indonesia berada di bawah supremasi sipil. Pada masa itu TNI harus menghadapi kekuatan militer kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, menghadapi 3 kali kudeta PKI, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesata di Sumatera Barat, Dewan Banteng di Sumatera Utara, Daud Beureuh di Aceh, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Soumokil di Maluku, pembebasan Irian Barat dan konfrontasi Malaysia.
Semua itu adalah agenda perang yang dipikul oleh TNI sebagai konsekuensi dari kebijakan politik sipil. “Perang adalah kelanjutan dari politik”, kata Karl von Clausewitz, dan TNI memikul konsekuensi kebijakan politik, betapapun hal itu menumpahkan darah, keringat dan airmata mereka.
Semua perang itu berlangsung di tengah politik yang sangat tidak stabil dan ekonomi yang terus-menerus merosot.
Nasution, pemimpin TNI saat itu, menganggap keadaan di atas merupakan bukti kegagalan politikus sipil menghadapi masalah-masalah bangsa.
Senada dengan Nasution, dalam pidatonya 28 Oktober 1956 Soekarno mengusulkan agar partai-partai politik dikubur.
Kegagalan sipil adalah alasan TNI mendukung gagasan Nasakom Presiden Soekarno. Hal itu juga menjadi alasan munculnya konsep Dwifungsi ABRI. Apakah kita sekarang berada di ambang kegagalan sipil?
Kondisi ekonomi memang belum separah akhir era Orde Lama. Inflasi terkendali, tidak melonjak hingga 650% seperti dulu. Namun kita berada di ambang kebangkrutan. Utang menumpuk melebihi PDB, sementara rasio pajak terus menurun.
Rakyat mengeluh karena subsidi menghilang dan pajak meningkat. Rakyat terpecah-belah karena banyak kelompok kepentingan (terutama buruh dan kaum miskin) tersingkir demi membuka jalan bagi investor dan oligarki. Tidak terlalu salah bila banyak orang mengatakan bahwa Indonesia berada di ambang konfrontasi sosial yang berbahaya.
Artikel Kunto saya kira muncul dari kegundahan akan keadaan di atas. Tetapi ia tidak melihatnya sebagai persoalan politik. Sebagai seorang militer profesional, Kunto melihatnya sebagai persoalan etika: Bangunlah pemilu jurdil sebagai basis dari demokrasi yang sehat.
Pemilu Jurdil Tanggung-jawab Siapa?
Dalam surat pernyataannya Koalisi secara implisit menyebutkan beberapa faktor yang menghambat terlaksananya pemilu jurdil. Ketika Koalisi mengingatkan TNI agar tidak berpolitik praktis, Koalisi juga menyampaikan hal yang sama kepada institusi Kepolisian RI, Badan Intelejen Negara, KPU, Bawaslu dan pemerintah pada umumnya untuk tidak berpihak kepada salah satu peserta pilpres.
Jujur dan adil pada dasarnya adalah kriteria yang melekat kepada keberadaan semua institusi yang disebutkan di atas. Bila semua institusi di atas tidak jujur dan tidak adil dalam pemilu, maka demokrasi sudah tamat.
Banyak orang tidak mengetahui bahwa tanggung-jawab atas jurdilnya pemilu berada di tangan negara. Dalam hal ini, tanggung-jawab tersebut berada di tangan Presiden sebagai kepala negara. Presiden harus memastikan semua aparat negara dan penyelenggara pemilu bersikap jujur dan adil. Hal ini bukan hal baru.
Presiden Megawati menerapkannya, sementara pada pilpres 2014 Yudoyono tidak berbuat apa-apa. Tetapi apa lacur, pada Pilpres 2019 hampir semua aparat negara memihak Widodo yang tidak lain adalah presiden petahana. Bukti-bukti digital berserak di dunia maya.
Tanggung-jawab negara ini ditandaskan dalam Declaration on Criteria of Free and Fair Elections yang dikeluarkan oleh Inter-parliamentary Council (IPC) di Paris tanggal 26 Maret 1994. Pada Bab 4 Deklarasi tersebut secara eksplisit ditegaskan tanggung-jawab negara dalam memastikan semua warganegara yang memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih, memastikan semua partai dan kandidat memperoleh perlakuan setara, menjamin penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu) terlatih dan tidak memihak, serta memastikan integritas pencoblosan dan penghitungan suara.
Indonesia terikat kepada ketentuan di atas karena Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani Deklarasi di atas.
Penutup
Dengan demikian dapat saya katakan bahwa pandangan yang disampaikan Mayjen Kunto dalam artikelnya adalah pandangan pribadi. Kunto mengungkapkan kegundahannya sebagai warga negara. Sebagai sebuah ekspresi patriotik, maka dalam hal ini kita menyambut baik artikel itu.
Saya menyarankan kepada Koalisi dan siapapun warganegara untuk tidak menggeser fokus. Sebagai sesama pencinta demokrasi mari kita galang dukungan untuk pemilu jurdil. Sebagaimana halnya Kunto kita juga mengingatkan kepada semua aparat negara, utamanya kepala negara untuk memastikan pemilu 2024 nanti berlangsung jujur dan adil. Hanya dengan demikian kita dapat memperkuat demokrasi kita.
[***]