KedaiPena.Com – Calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo menyampaikan pandangan soal pemilu berbiaya rendah saat debat pertama pilpres, Kamis (17/1/2019) lalu.
Jokowi menuturkan bahwa prinsip rekrutmen harus berbasis pada kompetensi, bukan finansial dan bukan nepotisme.
Ia mencontohkan saat dirinya maju pada Pilgub DKI Jakarta 2012 lalu. Jokowi mengatakan tidak mengeluarkan biaya sama sekali ketika mencalonkan diri bersama pasangannya, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Hal itu lantas dibantah oleh Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional pasangan (BPN) Hashim Djojohadikusumo.
Hasyim yang juga adik Prabowo Subianto mengakui Jokowi tak mengeluarkan uang. Hal itu karena seluruh uang yang digunakan Jokowi untuk berkampanye berasal dari Hashim.
“Pak Jokowi memang tidak keluarkan uang karena uangnya dari saya, uangnya dari saya itu kenyataan. Saya kira ya, maaf ya, tidak benar itu,” ujar Hashim saat ditemui di media center pasangan Prabowo-Sandiaga, Jalan Sriwijaya I, Jakarta Selatan.
Hashim menambahkan, beberapa kali Jokowi datang ke kantornya untuk meminta bantuan terkait dana kampanye Pilgub DKI 2012. Adik dari Ketua Umum Partai Gerindra itu mengaku masih dapat memberikan bukti soal dana kampanye yang ia berikan kepada Jokowi.
“Saya ada catatan itu, ada data kami bantu untuk Pak Jokowi,” kata Hashim.
Ia menuturkan, dalam pertemuan itu memang Jokowi tidak menjanjikan apa-apa jika terpilih pada Pilgub DKI Jakarta. Hashim juga mengklaim tidak meminta timbal balik dari bantuan dana kampanye tersebut, baik dalam bentuk proyek maupun perjanjian bisnis.
Hal itu, kata Hashim, sejalan dengan kebijakan Partai Gerindra yang tidak ingin meminta mahar politik dari calon yang diusung. Hashim mengaku hanya meminta Jokowi menjadikan dirinya pengawas Kebun Binatang Ragunan dengan alasan menyukai satwa liar. Permintaan itu disampaikan ketika Jokowi sudah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Ketika dia sudah jadi gubernur saya minta saya jadi pengawas Ragunan di situ karena saya sangat cinta dengan satwa liar dan binatang. Tetapi, kalau bisnis dan proyek saya enggak pernah minta dan beliau tidak pernah janji,” ucap Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu.
Saat ditanya mengenai jumlah dana kampanye yang diberikan, Hashim enggan untuk memberikan jawaban. Kendati demikian, ia memastikan jumlahnya lebih besar dari yang pernah diakui Jokowi pada 2014, yakni sebesar Rp 6 miliar.
Hashim mengatakan, dana kampanye yang ia berikan saat itu mencapai puluhan miliar. Selain dalam bentuk uang, Hashim juga memberikan bantuan berupa alat peraga kampanye, seperti kaus, kemeja bermotif kotak-kotak, dan baliho.
“Maka saya heran waktu di debat kok beliau bilang enggak pakai uang, maaf ya ini tidak logis. Di Indonesia untuk setiap pencalonan harus ada uang, untuk bayar saksi itu berapa, minimal Rp 100.000 atau Rp 300.000,” tutur Hashim.
Tokoh nasioanl Rizal Ramli pun turut bersuara soal ini. Ia mengatakan, sudah waktunya politik berbiaya tinggi dihentikan, karena akan menghasilkan demokrasi kriminal.
“Wah-wah begini toh ceritanya. Sudah waktunya Mas Jokowi mengakui bahwa banyak keluarkan uang waktu nyagub dan nyapres, walaupun dibayari, bukan duit sendiri,” kata Rizal kepada KedaiPena.Com, Rabu (23/1/2019).
Sebaliknya, sudah waktunya juga Prabowo Subianto dan sejawatnya, termasuk Hashim, mengakui bahwa biaya politik sangat tinggi, jadi sumber korupsi. Dan sudah waktunya, kedua capres bertekad untuk melakukan reformasi pembiayaan partai politik.
Rizal Ramli sendiri sudah lama, sekitar tahun 2012, menyuarakan ide reformasi pembiayaan parpol untuk tekan korupsi politik ini di berbagai kesempatan.
RR, sapaan Rizal Ramli mengklaim, kata demokrasi prosedural lahir saat dirinya masih duduk di bangku pemerintahan, pada awal reformasi. Kata itu diciptakan untuk merujuk pada sistem pemerintahan yang kuat, tertata dengan baik, dan mementingkan rakyat.
“Dulu kami yang pertama menggunakan istilah demokrasi prosedural. Dalam praktiknya, telah berkembang menjadi demokrasi kriminal. Harus diubah,” tegas Rizal.
Ditambahkan dia, untuk mengubah demokrasi yang tersesat tersebut, dibutuhkan kemauan keras dari pemerintah untuk melakukan perubahan. Diantaranya adalah dengan melakukan pembiayaan partai politik, yang dia yakini dapat menekan angka korupsi oleh partai politik.
“Untuk mengubah demokrasi kriminal (korupsi 50% anggaran) menjadi demokrasi bersih dan amanah, parpol (harus) dibiayai oleh negara, seperti Eropa dan Australia. Pembiayaan parpol oleh negara, harus diikuti audit dan sanksi terhadap penyalahgunaannya. Kita gunakan kebijakan anggaran untuk mengubah prilaku parpol,” terangnya.
Dijelaskan dia, pada zaman orde baru, 30 persen praktik korupsi, terjadi saat pembangunan pada tahap pelaksanaan. Sedangkan pada zaman ini, korupsi juga terjadi pada tahap perencanaan, hingga mencapai sekira 20 persen, dan total 50 persen.
“Korupsi pada tahap perencanaan, dilakukan rame-rame, kerjasama eksekutif dan legislatif. Tidak mungkin hanya DPR tanpa dukungan eksekutif,” tukasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh