MANTAN Ketua DPR Setya Novanto menyebut Presiden Joko Widodo sebagai orang yang ‘koppig’ alias keras kepala. Koppig dalam bahasa Belanda dilafalkan dengan kopeh artinya keras kepala.
Sikap keras kepala Jokowi itu, kata Novanto, bisa merugikan semua masyarakat. Hal itu terungkap dalam rekaman percakapan antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha minyak Riza Chalid dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Riza Chalid. Rekaman diperdengarkan dalam sidang MKD di gedung DPR Rabu, 2 Desember 2015.
Sepertinya dalam situasi krisis ganda sekarang. Krisis ekonomi dan krisis epidemik wabah Covid-19, terbukti memang Jokowi ‘koppig’. Para ahli kesehatan, guru besar UI dan perguruan tinggi lainnya, para akademik yang tidak terkait dengan kepentingan politik sudah bersuara.
Mereka meminta agar lakukan tindakan karantina wilayah atau dikenal dengan istilah ‘lockdown’ terbatas terhadap daerah dalam kategori merah epidemik, seperti Jakarta. Jokowi bersikeras tidak akan ada ‘lockdown’. Alasannya memang klasik demi masyarakat miskin ibukota. Walaupun alasan ini sebenarnya sangat bias.
Sesuai UU, dalam kondisi karantina wilayah, keperluan masyarakat terutama tidak mampu ditanggung oleh pemerintah. Kemampuan APBD DKI Jakarta dikalkulasi oleh para ahli sangat mungkin untuk menanggulangi, hanya menambah sedikit dari APBN dan tidak akan menganggu kelancaran anggaran nasional.
Sementara Pemerintah pusat mampu memberikan stimulus ekonomi untuk perusahan-perusahaan terdampak dan kompensasi pajak dan sebagainya yang menurut SMI nilainya mencapai Rp158,2 triliun.
Apalagi, Jokowi dari awal menyampaikan akan ada BLT, akan ada Kartu Bantuan bagi yang tidak bekerja sesuai janji kampanyenya. Dananya juga sudah dianggarkan, sebelum virus Cina Covid-19 menyerang Indonesia.
Entah karena pertimbangan apa, para ‘buzzer’ bayaran, yang selalu mengolok-olok tokoh kritis bahkan mem-‘bully’ dokter dan para medis yang mengusulkan ‘lockdown’. Mereka memberikan ketakutan jika ‘lockdown’, siapa yang memberi makan kalangan miskin, akan terjadi kepanikan dan sebagainya.
Mereka pun memuji setinggi langit sikap Presiden untuk tidak mau ‘lockdown’. Celakanya mereka bukanlah ahli kesehatan, bukan pula ahli ekonomi, hanya bermodalkan omong doang dan memanfaatkan sosial media seperti Youtube, FB dan Twitter. Secara narasi seragam mereka mem-‘bully’ siapa saja yang mengusulkan ‘lockdown’. Bisa ditebak bahwa itu digerakan dengan bayaran.
Mereka rajin mem-‘bully’ dan “ahli” memviralkan. Di belakang mereka adalah ahli teknologi informasi, ahli komunikasi dan ahli psikologi massa, yang tentunya dengan bayaran. Mereka muncul di depan sembari seruput kopi dan bersorak ria dengan tema yang telah ditentukan. Padahal secara nyata, masyarakat mana siapa sih yang tidak ingin aman dan terselamatkan.
Pemimpin harus mampu mengimbau dan meraih hati golongan kaya secara simpati untuk berbagi dengan orang miskin kota di saat genting, dalam masa Karantina Wilayah. Toh itu adalah kekayaan dan keunggulan bangsa Indonesia, bersilaturahmi dalam kekeluargaan serta gotong royong. Semua hal yang berat bisa dipikul bersama.
Gerah
Beberapa tokoh partai politik pendukung Presiden Jokowi juga sudah mulai gerah. Melalui beberapa tokohnya, mereka sudah menyampaikan kemungkinan perlunya ‘lockdown’ dipikirkan, termasuk dari Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet.
Ini juga terkait adanya para ahli baik dari Indonesia maupun dari luar negeri, yang menganalisis secara ilmiah dengan pendekatan statistik. Mereka menyampaikan kegerahan melalui media seperti Reuters, dalam perkiraan ilmiah mereka, Indonesia akan terdampak sangat besar, bisa menyamai korban di Italia bahkan di Wuhan Cina, dengan beberapa variabel, terutama keterbatasan kapasitas penanggulangan wabah di Indonesia.
Memang terbukti dari hari kehari terdampak positif virus Cina Covid-19 di Indonesia sudah melewati angka psikologis ribuan, begitu juga jumlah meninggal selalu naik signifikan dan yang terselamatkan sangat kecil. Jika beberapa tokoh sudah gerah, apalagi rakyat.
Karena akses informasi global, mereka menyaksikan ketakutan yang terjadi di Wuhan, Cina sejak bulan Januari-Februari. Kemudian lanjut di Italia, di Iran dan negara lain. Korban berjatuhan sedemikian rupa, semua bisa disaksikan dalam hitungan detik yang terjadi di belahan dunia.
Keraguan
Melalui diskusi beberapa komunitas di beberapa forum sosmed, baik secara virtual ataupun percakapan Whatsapp mulai muncul keraguan terhadap kapasitas dan kemampuan Pemerintah Pusat dalam menanggulangi krisis ganda.
Pemerintah bersikukuh melakukan pembangunan infrastruktur, termasuk pindah ibukota. Padahal Indonesia sedang diserang virus Cina Covid-19 yang menakutkan. Dana infrastruktur semestinya bisa di alihkan untuk sementara menanggulangi pembiayaan perang dengan virus Cina ini.
Aneh dalam satu kesempatan Presiden Jokowi menyampaikan akan menggunakan dana desa untuk hal tersebut. Padahal dana desa bisa meningkatkan daya beli dan kemampuan pertahanan ekonomi desa dalam krisis ekonomi.
Begitu juga dengan nyungsepnya nilai rupiah terhadap dolar, padahal BI mengelontorkan ratusan triliun untuk menahan laju merosotnya rupiah. Memang fondasi ekonomi sejak dua tahun lalu sudah goyah karena salah urus, dan rentan terhadap bencana wabah global. Itu terbukti demikian terpuruknya rupiah.
Pembicaran diskusi dari para ahli di komunitas ‘civil society’ melalui sosmed, ‘flash back’ terhadap hancurnya ekonomi Indonesia di tahun 1998, di mana di era Soeharto tersebut begawan ekonomi seperti Soemitro Djoyohadikusumo, Wijoyo Nitisastro, Radius Prawiro, Emil Salim dan kawan-kawan tidak mampu mengatasi krisis ekonomi. Mereka takluk dengan sistem IMF/World Bank yang berakibat lebih terpuruknya ekonomi Indonesia, sampai mencapai pertumbuhan minus.
Uang stimulus dari utangan IMF untuk BLBI dilarikan oleh para bankir dan konglomerat hitam ke luar negeri, sehingga sampai sekarang Indonesia masih menanggung beban utang BLBI yang dirampok dan dilarikan tersebut.
Sekarang terbetik berita Menteri Keuangan Sri Mulyani yang juga anak murid para begawan ekonomi yang gagal tersebut, akan melebarkan rasio utang melalui Perppu. Sehingga akan berutang secara besar-besaran lagi kepada IMF/World Bank, dan otomatis sejarah krisis ekonomi berulang, dengan cara IMF yang sudah pernah gagal di Indonesia.
Dari dua hal tersebut di atas keraguan terhadap kemampuan Presiden Jokowi menyeruak oleh berbagai kalangan, ragu terhadap kemampuan panglima tertinggi untuk mengomandoi perang dengan musuh yang tidak tampak yakni virus Cina Covid-19.
Ragu pula terhadap kemapuan Presiden dan Tim Ekonominya dalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi, suara keraguan tersebut juga dimunculkan oleh kalangan mahasiswa melalui surat terbukanya yang cukup panjang dan berbobot. Salah satu pernyataan menutup suratnya secara awal perlu dipikirkan Presiden Jokowi mundur. Sejarah menunjukan kalangan muda lebih berani menuntut perubahan.
Oleh Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78