DALAM kitab “Minhajjul Mursyidin” karya Syekh Ali Mahfudz dikisahkan tiga orang perampok yang merampok “tiga keping emas” dan membunuh korban.
Ketiganya sepakat sebelum membagi rata, masing masing satu keping, untuk makan makan terlebih dahulu. Salah seorang diantaranya disuruh membeli makanan ke pasar.
Saat ia pergi, kedua perampok berkomplot untuk membagi dua saja tiga keping emas tersebut. Artinya teman yang pergi tersebut mesti dibunuh.
Yang membeli makanan sama juga ingin menguasai semua hasil rampokan, maka makanannya dibubuhi racun.
Rencana berjalan lancar. Ketika tiba, dibunuhlah teman pembawa makanan. Lalu kedua orang perampok itu pun makan makan. Yang dimakan sudah jelas beracun. Akhirnya matilah semuanya.
Dalam politik berebut hasil sepertinya suatu hal yang lazim. Soal hasil halal atau haram tidak dipedulikan. Fenomena politik kita saat ini menampakkan kelaziman tersebut.
Jokowi yang baru “memenangkan” Pilpres menghadapi lingkungan perebutan tersebut. Untuk jabatan menteri yang utama dan posisi lain komplemennya.
Klik terbentuk dalam rangka “tekan menekan” atau “ancam mengancam”. Aksi aksi pun terjadi. Peristiwa “rusuh” Mei 21-22 adalah aksi awal mempertahankan hasil yang tidak halal.
Selanjutnya dibuat modus beragam dari rekonsiliasi sampai bakar-bakaran. Ada kolaborasi dengan lawan politik, memadamkan “blockout” listrik, pancingan soal “salib”, hingga yang terakhir kerusuhan Papua.
Banyak analis menyimpulkan semua tidak berdiri sendiri tetapi dalam rangka cari posisi. Bahasanya “rusuh di Papua berebut di Jakarta”. Bintang kejora berkibar tanpa tindakan berarti dari Istana.
Negara memang bukan milik rakyat tapi milik para penguasa yang kekuasaannya didapat dengan cara rampok merampok.
Sebenarnya perebutan seperti ini bisa dihindari jika Presiden kuat. Kita menganut “presidential system” dimana Presiden punya kewenangan otoritatif untuk menyusun Kabinet. Semua tergantung pada “maunya” Presiden.
Akan tetapi mengingat kondisi yang ada dimana sistem ini hanya bersifat kuasi, maka Presiden bukan menjadi penentu, akan tetapi justru yang ditentukan.
Kekuatan sekitarlah yang mencoba untuk memperkokoh posisi sebagai pengendali. Akibatnya seperti yang kita rasakan yakni pertarungan antar klik. Antar gank.
Belajar dari kisah tiga perampok di atas, jika kilauan emasnya memang sangat menggiurkan atau menentukan, maka bukan mustahil di antara perampok yang satu dengan yang lain akan saling bunuh.
Rakyat hanya bisa menonton tayangan film horor berjudul “NKRI dibuat mati”.
Mengutip Puisi Negeri Perampok karya Arka;
“Negeri ini telah membuat cerita baru lagi.
Tidak membutuhkan orang berhati suci.
Negeri ini telah menjadi negeri para perampok sejati.
Negeri persekutuan pejabat korupsi dan mafia berdasi.
Ini nyata bukan kisah lagi”.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik tinggal di Bandung