Artikel ini ditulis oleh Pengamat Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78, Syafril Sofyan
Menteri terbalik, maksudnya plesetan untuk Menteri Keuangan Sei Mulyani Indrawati alias SMI yang dianggap terbaik oleh lembaga dunia debitor, konon karena keberaniannya berutang dengan bunga tinggi.
SMI jangan hanya berani sama rakyat kecil. Semua sing printil (kecil-kecil) dipajakin. Kritik dan sindiran yang selalu muncul dari Dr. Rizal Ramli dikenal dengan panggilan RR, baik di sosial media, melalui seminar sekarang webinar, podcast tokoh, ataupun talkshow di TV Nasional.
Jika diamati kritik dan sindiran tersebut sejak tahun 2017. Bahkan jauh sebelumnya. “Teriakan” RR adalah naikkan pajak, untuk orang kaya, pengusaha, industriawan besar dan investor asing.
Para pengusaha besar yang dimaksud RR, sang begawan ekonomi yang pernah menjadi penasehat ekonomi PBB bersama beberapa tokoh dunia pemegang nobel, adalah seperti pengusaha sawit dan tambang, terutama batu bara dan pengusaha atau investor asing yang selalu mendapat kemudahan berupa tax holiday, jika ada tunggakan pajak tidak ada yang dibawa ke pengadilan.
Sementara mereka diberikan kebebasan mengeruk keuntungan selama berpuluh tahun. Mungkin itu sebabnya RR sampai sekarang masih konsisten menyebut Menteri Keuangan Terbalik untuk Sri Mulyani (SMI), pembantu Presiden Jokowi, yang juga pernah tersandung kasus besar Bank Century di era SBY.
Joe Biden, Presiden Amerika Serikat Joe Biden dari Partai Demokrat yang baru saja mengalahkan pertahana Presiden Trump dari Partai Republik secara telak dengan angka peroleh terbesar sejak Pilpres Amerika Serikat berpendapat sama dengan Rizal Ramli, anggaran negara harus dicukupi dari pajak.
Hal ini untuk bisa membiayai pembangunan besar-besaran. Sumber anggaran itu harus dari pajak. Bukan dari utang.
Biden tidak butuh pencitraan, bermesraan dengan konglomerat. Biden yang belum seumur jagung memerintah. Berani menaikan pajak untuk orang kaya, dan harus naik, maunya naik 36 persen. Sangat berlawanan dengan kebijakan Trump yang memanjakan para orang kaya dengan pajak rendah 21 persen.
Baru dua bulan memerintah, Biden berhasil mendapat persetujuan parlemen sebanyak USD 1,9 triliun untuk bantuan untuk golongan bawah. Dari jajak pendapat, Biden mendapatkan dukungan 70 persen termasuk terbesar dari para pendahulunya.
Berbeda dengan Indonesia, lembaga jajak pendapat “tidak jelas” darimana sumber dananya, konon cenderung memberikan dukungan besar terhadap rezim yang berkuasa dengan keberpihakan kurang terhadap rakyat kecil. Tentu berbeda jauh dengan kondisi kesusahan ekonomi secara nyata yang dirasakan masyarakat.
Akibat keberpihakan rezim Jokowi kepada orang kaya, disparitas antara-orang kaya dan miskin di Indonesia yang semakin besar di tengah pandemik Covid-19. Hal itu juga sudah diprediksi oleh Rizal Ramli.
Rasio pendapatan pajak semakin rendah (terendah sejak jaman orde baru), karena tidak berani menaikan pajak buat orang kaya. Dalam kondisi pandemi orang kaya malah semakin kaya, yang miskin semakin kejepit. Kondisi ini sebenarnya sangat berbahaya.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengungkap 30 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bangkrut akibat kebijakan pembatasan sosial di dalam negeri di tengah pandemi Corona (Covid-19).
Hanya tersisa sekitar 34 juta unit usaha wong cilik atau berkurang hampir 50 persen dari posisi 2019 lalu yang sebanyak 64 juta unit usaha.
Pemerintah Jokowi seharusnya melakukan perubahan kebijakan seperti yang dilakukan Joe Biden dan diteriakan cukup lama oleh Rizal Ramli.
Jangan malah sekarang bersibuk-sibuk membangun ibu kota yang bukan prioritas utama kebutuhan rakyat.
Utang semakin menggunung. Warisan yang tidak elok untuk generasi mendatang. Jika tidak sanggup banting setir, sebaiknya give up. Semoga bijak.
[***]