KORAN Independent Observer beberapa waktu lalu menurunkan tulisan di halaman depan berjudul Corn and salt imports; Playing Politics with Indonesia’s Food Security. Laporan satu halaman penuh itu diberi ilustrasi Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito yang tengah duduk bersila. Di gambar itu, Enggar punya delapan tangan. Dua tangan bagian paling bawah masuk ke saku kanan-kiri jas. Enam tangan lain dibuat tersusun rapi dari bawah ke atas. Masing-masing tangan ada berbagai komoditas pangan; beras, gula, daging, kedelai, garam, dan jagung.
Lewat judul yang terjemahan bebasnya berbunyi Jagung dan Garam Impor; Main-main Politik dengan Ketahanan Pangan Indonesia plus ilustrasi yang begitu gamblang, koran ini seperti sedang menelanjangi perilaku Enggar. Bahwa, impor produk pangan bukan sekadar perkara dagang yang menghasilkan keuntungan superjumbo, tapi juga sarat dengan aroma politik yang menyengat.
Inilah yang sejak beberapa tahun silam disuarakan dengan lantang oleh ekonom senior Rizal Ramli tentang buruknya sistem kuota impor. Melambungnya harga berbagai bahan pangan akhir-akhir ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki strategi dan kebijakan yang jelas di sektor pangan. Hal itu diperparah dengan adanya sistem kuota impor yang tidak transaparan. Akibatnya terjadilah kongkalikong pejabat dan pengusaha penerima lisensi kuota impor yang merugikan sangat rakyat dan negara.
RR, begitu Rizal Ramli biasa disapa, juga mendesak sistem kuota dihapuskan dan diganti dengan sistem tarif. Dengan begitu dipastikan impor kita akan lebih kompetitif. Harga bahan pangan akan lebih murah dan terjangkau oleh rakyat kecil.
Tidak sulit untuk memahami fenomena impor komoditas pangan yang kian sering terjadi belakangan ini. Impor produk pangan adalah jalan pintas paling mudah untuk mengeruk laba sangat besar. Dengan fulus yang berlimpah, apa saja bisa dilakukan. Termasuk dan terutama menyogok pejabat dan atau membiayai syahwat politik yang menggelegak. Itu sebabnya perselingkuhan penguasa dan pengusaha di ranah ini seperti tidak pernah berakhir.
Tapi impor pangan bertubi-tubi yang dilakukan akhir 2017 dan awal 2018 sudah benar-benar keterlaluan. Kalau nafsu serakah tak bisa dibendung, mbok yao impor dilakukan nanti-nanti, minimal tiga bulan ke depan. Bukan saat panen raya seperti yang terjadi pada padi, garam, jagung, dan lainnya. Petani dan produsen lokal sudah pasti yang paling menderita.
Jatuhkan Elektabilitas Presiden
Sangat patut dicurigai para pelakunya bukan sekadar mengincar untung yang memang sebesar gajah bunting berpenyakit beri-beri dan bengkak disengat ribuan lebah. Mereka juga secara sistematis dan terencana sedang menjatuhkan kredibilitas sekaligus elektabilitas Presiden Jokowi. Bukankah banjir impor produk pangan membuat petani dan produsen marah? Tidakkah ini akan membuat mereka emoh memilih Jokowi pada laga Pilpres 2019?
Pertanyannya, apakah Jokowi tidak bisa membaca permainan sekasar ini? Tidakkah Presiden menyadari betapa buruk akibat perilaku menteri dan para kroninya di ranah impor pangan ini?
Mustahil kalau Jokowi tidak engeh. Dia memang berasal dari Solo yang dipersepsikan lugu. Tapi, pengalaman menjadi Gubernur DKI dan tiga tahun sebagai Presiden pasti telah memberi banyak sekali pelajaran baginya. Kesimpulannya, Jokowi pasti sudah paham benar jurus-jurus maut tapi licik tersebut.
Namun pertanyaan berikutnya, mengapa dia tidak kunjung mencopot Enggar? Bukankah perilaku si menteri jelas-jelas bertentangan dengan jargon Trisakti dan Nawa Cita yang jadi jualan Jokowi saat Pilpres 2014 silam? Bukankah karena dagangannya itu dia bisa meraup suara lebih banyak ketimbang para pesaingnya? Dan, ini yang paling penting, bukankah sebagai Presiden dia harus merealisasikan janji-janjinya selama nyapres?
Tentu ada penjelasan hingga kini Enggar masih duduk anteng, adem-ayem tanpa ada sedikit pun tanda-tanda bakal kena gusur. Alasan paling logis untuk itu adalah, Jokowi tersandera! Jika dia mencopot Enggar, bukan mustahil Partai Nasdem tempat mantan politisi Golkar ini bernaung bakal marah besar. Langkah selanjutnya, Nasdem akan balik kanan, tidak lagi mengusung Jokowi sebagai Capres pada 2019.
Skenario inilah yang sepertinya menghalangi Jokowi memecat Enggar. Risikonya terlalu besar jika sampai Nasdem cabut dari koalisi. Perolehan suara yang terkumpul tidak cukup untuk mengantarkannya ke ajang Pilpres.
Dalam UU Pemilu yang baru, aturan presidential threshold (PT) parpol/gabungan parpol bisa mengusung capres harus memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya. Nasdem (6,72%), Golkar (14,75%), Partai Persatuan Pembangunan (6,53%), dan Hanura (5,26%) sudah menyatakan dukungan. Total jumlah suara mereka 33,26%.
Secara teori ini, jumlah ini sudah aman. Tapi Jokowi paham benar, bahwa di jagad politik semuanya serba dinamis. Apa yang sudah diputuskan pagi hari, bukan mustahil berubah sore harinya. Begitu juga dengan dukungan Parpol pendukung. Sedikit saja ada guncangan atau iming-iming ‘gizi’ yang lebih gurih, bukan mustahil satu per satu akan balik kanan.
Parpol yang ‘dijamin’ tetap setia barangkali cuma Golkar dan Hanura. Tapi jumlah suara keduanya cuma 20,01% alias kurang dari 25%. Kalau Nasdem benar-benar cabut yang ngambek karena Enggar dicopot, harapan Jokowi kembali berlaga di ajang 2019 pasti kandas.
Pada Rakernas ke-3 di Bali, 23 Februari 2018 silam, PDIP memang secara resmi menyatakan kembali mengusung Jokowi sebagai Capres pada 2019. Meski begitu, siapa pun paham, bahwa sudah lama hubungan Ketum PDIP Megawati-Jokowi kurang mesra. Pemicunya, sejumlah permintaan Mega hingga detik ini belum dipenuhi Presiden. Antara lain, Mega menginginkan Budi Gunawan jadi Kapolri dan Menteri Rini Soemarno didepak. Ini adalah duri dalam daging yang sangat menganggu.
Apalagi sedikitnya dalam dua kali kesempatan di hadapan publik, Mega menyatakan Jokowi adalah petugas partai yang harus setia dengan AD/ART dan garis kebijakan partai. Sebagai manusia, apalagi Presiden terpilih dari negara yang berdaulat, adalah normal dan manusiawi jika Jokowi tersinggung karenanya. Belum lagi sembuh, eh Puan Maharani ikut-ikutan mengulang (mengingatkan?) kembali statusnya sebagai petugas partai.
Semua kemungkinan prahara itu sebetulnya bisa ditepis sejak awal. Yaitu, kalau saja Jokowi waktu itu mantap menghendaki PT 0%, atau katakanlah maksimal 5% saja. Jika ini yang dulu jadi pilihannya, Jokowi tidak akan masuk jebakan PT oleh partai mana pun. Dia bisa lebih merdeka dan leluasa melenggang ke arena 2019. Namun entah karena pertimbangan apa atau bisikan siapa, faktanya dia justru mendukung syarat PT 20% kursi atau 25% suara. Apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur beracun!
Tulisan ini memang cuma kutak-katik angka dan kemungkinan yang bisa saja terjadi menjelang Pilpres. Bisa benar, bisa juga keliru. Tapi, hingga kini tidak kunjung ada sinyal Jokowi bakal mencopot Enggar yang sangat merugikan citra dan elektabilitasnya, bisa jadi bola liar. Minimal, benak publik akan terus menerka-nerka gerangan apa sesungguhnya yang terjadi.
Demokrasi kita memang telah berubah wujud jadi demokrasi kriminal. Dan, itu perlu duit amat sangat besar. Sampai di sini jadi nyambung…?
Edy Mulyadi, Direktur Program Center for Economic and Democracy Studies (CEDeS)