MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) bilang, kondisi keuangan PT PLN (Persero) memasuki zona lampu kuning! Jumlah utang produsen setrum pelat merah tersebut sudah kelewat besar dan mengkhawatirkan. Di sisi lain, pertumbuhan penerimaan dari jualan listrik meleset dari target. Akibatnya, PLN bisa mengalami gagal bayar. Pendek kata, keuangan PLN gawat!
Tentu saja, redaksinya tidak persis begitu. Kalimat persisnya begini; Berdasarkan profil jatuh tempo pinjaman PT PLN, kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman PT PLN diproyeksikan terus meningkat di beberapa tahun mendatang. Sementara itu, pertumbuhan penjualan listrik tidak sesuai dengan target dan adanya kebijakan pemerintah untuk meniadakan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) dapat berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PT PLN.
Paling tidak, antara lain begitulah yang Sri tulis dalam suratnya bernomor 781/MK.08/2017 tertanggal 19 September 2017. Surat resmi berlogo Burung Garuda dengan tulisan Menteri Keuangan Republik Indonesia di bawah Garuda itu sejatinya ditujukan kepada dua koleganya. Masing-masing Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya (ESDM) Ignasius Jonan. Tapi apa lacur, surat yang bersifat penting dan segera itu bocor ke publik. Sontak, kegaduhan pun terjadi.
Benarkah kondisi keuangan PLN gawat? Benarkah produsen setrum milik pemerintah itu berpotensi gagal memenuhi kewajiban pembayaran utangnya? Segawat itukah, hingga seorang Menkeu menjadi sangat khawatir dan menulis; dapat berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PT PLN?
Ternyata tidak juga. PLN sama sekali tidak punya masalah dengan keuangan. Direktur Utama dan Direktur Keuangan PLN, masing-masing Sofyan Basir dan Sarwono Sudarto berpendapat lain. Mereka berdua menggelar jumpa pers untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Jonan ikut hadir dalam jumpa pers tersebut.
Soal utang, Sofyan mengakui hingga kini mencapai Rp296 triliun. Dalam tiga tahun terakhir utang perusahaan yang dinakhodainya itu hanya bertambah Rp58 triliun. Tapi tunggu dulu, jumlah tersebut tidak berarti sudah gawat. Pasalnya, omzet PLN menembus Rp300 triliun. Sedangkan jumlah aset paska revaluasi aset mencapai Rp1.300 triliun.
Mantan Dirut BRI dua periode itu menambahkan, ekuitas PLN sebesar Rp890 triliun. Dengan posisi seperti itu, sekarang PLN bisa melakukan pinjaman Rp2.000 triliun, kalau mau. Investasi dalam tiga tahun Rp150 triliun. Sebagian besar dibiayai sendiri. Tahun ini PLN menargetkan mencapai Rp6 triliun sampai Rp7 triliun. Angka tadi sudah memperhitungkan potensial lost karena tidak ada kenaikan tarif listrik, yaitu sekitar sekitar Rp8 triliun.
“Itulah sehatnya PLN. Saya kaget kok panik gara-gara surat itu. Jadi tidak ada apa-apa sama sekali. Posisi cash kita kuat. Kita tidak pernah gagal bayar,†kata Sofyan, tegas.
Klaim segar-bugarnya keuangan PLN juga diamini Jonan. Mantan Menhub ini yakin betul, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kinerja keuangan PLN. Apalagi Sofyan Basir sebelumnya adalah bankir yang berhasil membawa BRI sebagai peraih laba terbesar dalam beberapa tahun berturut-turut.
“Dirut PLN orang bank. Jadi, menurut saya, PLN di bawah dia sudah oke,†ujar Jonan.
Halusinasi Sri Mulyani
Sekarang pertanyaannya, kok bisa-bisanya Sri menulis surat yang seolah-olah (bakal) ada badai keuangan di PLN. Di surat memang belum memvonis gagal bayar. Dia ‘hanya’ menulis dapat berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PT PLN. Halusinasi belaka?
Tapi jangan lupa, surat itu ditulis seorang Menkeu. Tulisan dan lidah Menkeu jelas berbeda bobotnya dengan mbok-mbok penjual jamu yang keliling menjajakan dagangannya. Walau pun, bisa saja, sang mbok penjual jamu itu sama-sama bernama Sri. ‘Batuk dan bersinnya’ seorang Menkeu bisa bermakna dan dimaknai macam-macam oleh kalangan ‘pasar’.
Celakanya lagi, surat itu bocor kemana-mana. Itulah sebabnya Sofyan dan Jonan buru-buru menggelar jumpa pers, tujuannya, tentu saja, agar para kreditor tetap adem tentrem. Maklum lah, yang bikin surat dan khawatir seorang Menkeu gitu, loh.
Pelajaran apa yang bisa dipetik publik dari kegaduhan kali ini. Pertama, kekhawatiran Sri sama sekali tidak beralasan. Kondisi keuangan PLN aman-aman saja. Jauh dari bayang-bayang gagal bayar seperti yang dikhawatirkannya.
Kedua, ini menyangkut kredibilitas. Bagaimana mungkin Menkeu bisa begitu khawatir padahal kondisinya damai dan tenteram. Kalau ditanya, mana yang anda percaya kekhwatiran Sri atau penjelasan manajemen PLN, tentu saya lebih percaya pada yang kedua. Maaf ya, Sri.
Tapi lagi-lagi, yang hingga kini belum masuk akal saya, kok bisa-bisanya Sri menulis seperti itu? Dari mana dia mendapat pasokan info? Katakanlah dia mendapat feeding data salah dari anak buah, kan Sri bisa cross check kepada Jonan, Rini, atau Sofyan tanpa harus menulis surat. Apalagi sebagaimana disampaikan Sofyan, sebetulnya ‘teguran’ semacam itu rutin dan biasa saja. Cuma, lanjut dia, biasanya disampaikan secara lisan. Bukan dengan surat.
Nah, kemampuan melakukan cross check inilah yang menunjukkan kualitas Sri. Dia terlalu gegabah, apalagi sampai menulis surat, yang akhirnya bocor. Padahal, kekuatan asing dan media mainstream sudah kadung memoles dia sebagai Menkeu jempolan dan ekonom mumpuni. Hmm…
Akhirnya, apakah motivasi sesungguhnya di balik surat Sri itu? Apakah ada kaitannya dengan poin kelima (terakhir) dari suratnya yang berbunyi; Terkait dengan penugasan 35 GW, kami berpendapat perlu dilakukan penyesuaian target penyelesaian investasi PT PLN dengan mempertimbangkan ketidakmampuan PT PLN dalam memenuhi pendanaan investasi dari cashflow operasi, tingginya outlook debt maturity profil, serta kebijakan pemerintah terkait tarif, subsidi listrik, dan penyertaan modal negara (PMN). Hal ini diperlukan untuk menjaga sustainabilitas fiskal APBN dan kondisi keuangan PT PLN yang merupakan salah satu sumber risiko fiskal pemerintah‎.
Paragraf ini redaksinya memang melingkar-lingkar. Tapi benang merahnya bisa ditemukan dalam satu tarikan nafas pendek; serahkan sebagian pembangunan pembangkit 10 GW, dari megaproyek 35 GW, yang menjadi jatah PLN kepada swasta. Maknanya, beri swasta peluang lebih luas lagi. Cocok dan pas dengan semangat neolib yang selalu diusung Sri!
Satu lagi, entah ada atau tidak hubungannya surat itu dengan pakem Word Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB) dalam soal utang. Ikon kekuatan neolib dunia itu memang dikenal sangat rigit dalam hal utang. Mereka mensyaratkan debt coverage ratio 1,5 kali. Artinya, kalau anda punya utang Rp10, maka jumlah minimal penghasilannya Rp15 rupiah.
Apakah dengan suratnya itu Sri sedang ‘mewakili’ WB dan ADB untuk memastikan duit kedua lembaga itu yang dipinjam PLN tetap aman? Wah, saya ndak tahu. Hanya yang bersangkutan dan Allah yang mengetahui.
Dari Rp296 triliun utang PLN, berasal dari bank lokal. Sisanya asing. Sedangkan utang dari ADB dan WB hanya sekitar US$1,1 miliar.
“PLN enggak ada masalah dalam hal ini,†ungkap Sofyan. Nah, kan… (*)
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)