MINGGU lalu dalam sebuah diskusi tentang Pemilu, seorang kawan menyentil tentang PKS. Dia mengatakan, PKS akan tenggelam di Pemilu 2019. Sepertinya apa yang diprediksi Fahri Hamzah akan terjadi. Sudah banyak pengurus PKS di daerah mengundurkan diri.
Saya bilang, Fahri itu gak paham apa-apa tentang partai politik, kalau dia paham, dia gak akan mungkin bicara seperti itu. Bisa saja itu hanya ungkapan kekesalan Fahri ke PKS karena dia tidak bisa lagi menjadi anggota DPR pada periode selanjutnya. Dia ditolak jadi caleg di PKS
Kawan saya bilang, loh kok bisa? Saya tanya balik ke kawan saya, apa sih ukuran partai besar dan partai kecil? Kawan saya masih berfikir, saya langsung menjawab, yang menjadi ukuran itu adalah jumlah suara yang didapat caleg. Semakin besar yang didapat, maka semakin besar partai itu.
Apakah tindakan lartai politik tidak mempengaruhi pemilih? Saya jawab, tentu sangat berpengaruh, tapi bukan berarti bisa membuat sebuah partai langsung anjlok seperti pandangan Fahri Hamzah. Saya memang ingin PKS anjlok, tapi saya wajib sampaikan fakta, bahwa Fahri berhalusinasi.
Sebelum saya jelaskan lebih lanjut, saya akan sampaikan fakta bahwa pemilu pertama di zaman reformasi tahun 1999, Golkar dianggap partainya rezim Orba, rezim Soeharto. Golkar diprediksi tumbang, apalagi masyarakat masih euforia reformasi pasca tumbangnya rezim Soeharto.
Tapi faktanya apa? Faktanya, Pemilu tahun 1999, Golkar tetap berkibar. Golkar menempati urutan ke-2 setelah PDIP dalam pemilu legislatif. Caleg-caleg Golkar yang lolos ke senayan, ada di urutan ke-2 terbanyak setelah PDIP. Artinya apa? Artinya imej partai itu tidak selalu sebanding dengan hasil pemilu.
Kembali lagi terkait banyaknya pengurus PKS mundur di berbagai daerah dan halusinasi Fahri Hamzah. Saya katakan ke kawan saya, suara partai itu akan hancur ketika pengurus partai baik di pusat maupun di daerah, tidak mendaftarkan calegnya. Tentu caleg yang berkualitas.
Tapi kalau sudah mendaftarkan caleg yang berkualitas, lalu para pengurus baik di daerah maupun di pusat banyak yang mundur, itu sama sekali tidak berpengaruh. Bahkan saya katakan, kalau PKS pecat semua pengurusnya di daerah, tidak pengaruh. Karena tidak akan membatalkan pencalegan yang sudah ada.
Masa sekarang ini adalah masa di mana partai politik menyerahkan nasibnya pada caleg. Maka dari itulah, partai berupaya memberikan berbagai pembekalan dan strategi agar bisa diterapkan para caleg di lapangan, agar para caleg dapat meraup suara sebanyak-banyaknya. Itu tugas partai politik sekarang ini!
Tentu saja para politisi partai juga menjual ide, konsep dan gagasan ke publik, agar dalam pemilu. Jika masyarakat bingung untuk mencoblos caleg, mereka bisa mencoblos partainya. Tentu saja, perdebatan politik antar para tokoh partai, punya andil juga untuk mempengaruhi pilihan itu.
Tapi tetap, kekuatan terbesar partai politik dalam pemilu adalah caleg. Caleg adalah penentunya. Mau seluruh pengurus baik pengurus daerah maupun pusat mundur, tinggal ketua umum sendiri, itu tidak akan banyak mempengaruhi masyarakat memilih para caleg yang mereka sukai.
Saya katakan, ekstrimnya begini, menuju pemilu, ini adalah waktu yang sangat tepat bagi partai politik untuk bersih-bersih oknum. Kalau setelah pemilu, banyak kepentingan, karena sudah ada kekuasaan, ada pilkada, dan sebagainya, sehingga butuh yang namanya pengurus daerah, walaupun pengurusnya ngawur. Tetap dipertahankan karena kebutuhan yang saling kait mengkait.
Jadi, walaupun seluruh pengurus PKS di daerah mengundurkan diri, itu tidak banyak berpengaruh, apalagi sampai bubar seperti pemikiran Fahri. Sekarang ini caleg yang berperan, dan PKS bisa dengan mudah mencari orang profesional untuk memberikan pembekalan ke para caleg menggantikan para pengurus yang mundur.
Apakah PKS akan tumbang di 2019? Tergantung kualitas calegnya. Yang pasti, bukan karena banyak pengurus mereka di daerah yang mundur, itu tidak banyak berpengaruh.
Sebagai politikus partai politik, sebagai Dewan Pakar PKPI, saya punya kewajiban untuk paparkan hal ini ke masyarakat sebagai pendidikan politik.
Oleh Teddy Gusnaidi, Dewan Pakar Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia