Artikel ini ditulis oleh Hendrajit, pemerhati geopolitik.
Membaca gelagat politik negeri kita saat ini, enaknya baca sejarah politik Romawi era Julius Caesar sebagai analogi. Karena ada beberapa sosok yang tipikal mirip Julius Caesar, ada yang mirip Pompeous, dan ada juga yang mirip Crassus.
Tiga serangkai penguasa kediktatoran Romawi masa itu, yang sebenarnya saling nggak suka tapi sama-sama suka masakannnya, sehingga mereka bersekutu. Namun sejatinya Caesar, Pompey, dan Crassus, merupakan suatu persekutuan yang rapuh bin aneh.
Tapi di sisi lain yang boleh dibilang setengah di dalam tapi juga setengah di luar, yaitu Cicero.
Cicero, pasang naik dan pasang surut nasib politiknya sebagai pemain kunci di Senat atau DPR, memang berkaitan dengan konstelasi politik Roma yang diwarnai oleh tiga serangkai Caesar, Pompey dan Crassus.
Pada saat situasi kemudian berpihak pada Caesar sehingga kemudian menjadi primus interpares di antara tiga serangkai, Cicero dianggap ancaman bagi Caesar, sehingga sebelum orang nomor satu Romawi ini memasuki kota Roma setelah memenangkan peperangan di Galia, Cicero harus sudah disingkirkan dari ibukota itu dalam entah terbunuh atau lari ke pengasingan. Pokoknya jangan sampai pas dirinya masuk Roma, Cicero masih sekota dengannnya.
Maka karena tidak mau terlihat bermusuhan secara langsung dengan Cicero, Caesar mendorong Clodius, salah satu dari keluarga Crassus, yang punya dendam kesumat pada Cicero, sebagai Tribunus, jabatan yang ditunjuk Raja, dan berwenang bikin undang2 dan aturan. Dan berwenang memanggil para anggota senat atau anggota DPR untuk bersidang.
Nah melalui tangan Clodius inilah, Caesar menyingkirkan Cicero, sehingga Cicero daripada mati, mendingan menyingkir ke luar Roma. Sementara itu, Crassus dan Pompey, karena sama-sama berkepentingan menjaga persekutuannya dengan Caesar, seakan tutup mata dan nggak berani membela Cicero, apalagi mencegah Cicero lari ke pengasingan.
Namun setelah beberapa tahun, rupanya antar tiga serangkai ini diam-diam mulai rapuh persekutuannya, sehingga Pompey diam-diam lewat seorang utusan terpercaya, menemui Cicero di pengasingan, dan membujuk Cicero untuk berdamai dengan Caesar supaya bisa kembali ke Roma.
Perhitungan Pompey, adanya kembali Cicero di kancah politik Roma, Pompey dapat mengimbangi Crassus yang sama ambisiusnya untuk jadi nomor satu, seraya memelihara Cicero sebagai anak nakal, sehingga sekali-sekali bisa mengganggu Caesar. Agar supaya Pompey yang di mata Caesar merupakan orang dekat Cicero, bisa menaikkan harga tawarnya karena bisa menjinakkan Cicero.
Sementara itu, karena Cicero kembali ke Roma, setelah Caesar menyetujuinya, asal nggak bikin onar, otomatis kembali jadi aktor kunci di parlemen Roma. Dan negarawan Romawi yang diperhitungkan kawan maupun lawan.
Namun sepulangnya dari pengasingan, intuisi politik Cicero sudah tidak seligat waktu masa jayanya dulu, sehingga sering meleset dalam membuat perhitungan politik jangka panjang. Meskipun untuk siasat atau taktik politik jangka pendek, masih cukup cemerlang.
Salah satu kesalahan strategis Cicero, memandang tiga serangkai Caesar-Pompey dan Crassus sebagai persekutuan yang tak tergoyahkan dan tetap solid, sehingga langkah2 dan keputusan politik strategisnya selalu bertumpu pada fakta yang dia yakini tersebut.
Apalagi ketika tiga serangkai ini semakin meniti puncak kejayaannya, meski diwarnai oleh praktek bagi-bagi kekuasaan antar ketiganya yang cukup rumit dan penuh ketegangan.
Nah pada situasi inilah, Cicero yang selama ini jeli dan cermat membaca konstelasi dan konfigurasi, meremehkan sikap Cato dan para anggota keluarganya, yang secara terang-terangan mengambil posisi melawan tiga serangkai tersebut. Cicero memandang tindakan dan sikap Cato yang berani melawan triumvirat tersebut, konyol dan tidak taktis.
Rupanya Cicero lupa pada falsafah yang dia anutnya sendiri, bahwa ketika penguasa berikut formasi kekuasaan yang melekat padanya semakin meniti titik puncak, maka di situlah awal kehancuran. Artinya, kehancuran pada tahap ini hanya soal waktu.
Cicero tidak memperhitungkan pemunculan dinamika Black Swan (angsa hitam) sepeti diistilahkan Nassem Taleb, peristiwa yang muncul tak terduga, yang berakibat efek berantai ke depan yang tak bisa didorong surut kembali ke belakang.
Cato, dan dinasti keluarganya, termasuk keponakannya yang kelak terkenal dengan sebutan Brutus, nama yang kerap diidentikkan dengan sosok penghianat dan suka main tikam dari belakang, memang terlalu naif kalau dianggap akan jadi pesaing bagi Caesar.
Namun Cicero yang biasanya penuh perhitungan dan jitu membaca langkah politik ke depan, sama sekali tidak membayangkan bahwa kelak Cato dan keluarganya, termasuk Brutus, akan jadi katalisator percepatan keruntuhan Caesar. Berikut tiga serangkai itu sendiri.
Namun pada saat yang sama, muncul sebuah kekuatan baru yang tidak diperhitungkan Cicero maupun kubu tiga serangkai: Pemunculan tak terduga dari Augustus, keponakan Caesar, yang selama ini luput dari radar pengawasan para aktor2 utama dalam pentas politik Romawi.
Dan ironisya, dalam perpolitikan pasca Caesar, setelah Caesar ditikam oleh beberapa anggota senat, termasuk Brutus, yang tak disangka-sangka oleh Caesar, Cicero harus membuat kesepakatan politik baru dengan keluarga Cato, yang sementara itu sudah menjalin persekutuan taktis dengan Augustus, sang keponakan Caesar.
Pelajaran penting dari sejarah Romawi ini, kadang dalam mengantisipasi munculnya perubahan peta politik baru, yang kita harus jeli bukan menduga siapa aktor baru yang muncul ke depan. Melainkan siapa atau kekuatan kekuatan mana saja yang sedang memainkan peran sebagai katalisator percepatan terjadinya perubahan.
Di sinilah tragedi Cicero. Ia tidak memperhitungkan kekuatan kekuatan yang sedang mematangkan percepatan perubahan sehingga tidak membayangkan bahwa pengaruh bisa melahirkan penyebab meski pengaruh dan penyebab tak saling bersinggungan secara langsung.
[***]