BEBERAPA minggu lalu Al Gazali menjadi tamu penting Solahuddin Wahid (Gus Solah). Al Gazali datang berkunjung ke Pesantren Tebu Ireng Jombang. Dia bermaksud mencari dukungan politik untuk nasib ayahnya, Ahmad Dhani, yang sedang di Penjara.
Al, demikian panggilannya, duduk diterima dengan hormat disebelah Gus Solah. Tidak terlihat Al sebagai anak lagi, tapi Al dengan pecinya dan jalannya yang tegak gagah, terlihat dewasa.
Video singkat yang viral tentang kunjungan Al itu mungkin tidak terlalu penting buat banyak orang. Namun, sebagai pengamat yang mengerti sejarah bangsa ini, saya tertarik benar dengan kisah itu.
Dua orang yang bertemu di pesantren bersejarah itu bukanlah orang-orang biasa. Pesantren itu pun bukan pesantren biasa. Bagaimana begitu?
Sebab, dua orang itu mengalir darah perjuangan dalam dirinya. Gus Solah tentu kita sudah faham. Dia adalah cucu pendiri NU dan pesantren itu adalah pesantren yang didirikan kakeknya, sebuah pesantren yang tercatat sebagai inspirasi gerakan 10 November 1945.
Namun, Al tak kalah penting. Dia adalah cicit buyut dari Utari. Utari adalah perempuan penting di Republik ini. Pertama Utari menyandang nama Tjokro Aminoto, bapaknya. Tjokro ini adalah guru dari hampir semua bapak bangsa yang militan.
Kedua, Utari adalah perempuan pertama yang di sebelah namanya menyandang nama Sukarno. Utari adalah istri pertama Sukarno, sebelum Sukarno direbut ibu kos mereka.
Meski Al tidak mengalir darah Sukarno dalam dirinya, namun mengalir darah Tjokroaminoto. Hal itu berarti secara biologis, Al berkoneksi dengan sejarah bangsa kita. Dia tidak seperti saya, misalnya, yang tidak mampu menghadirkan sejarah kejuangan nasional.
Kehadiran Al di hadapan Gus Solah bukanlah Al sebagai sosok artis lagi. Al telah berubah atau mulai berubah menjadi sosok politik. Itu adalah sejarah baru yang menimpa Al sebagai resiko politik yang diwariskan ayahnya, Ahmad Dhani. Namun, sejarah bisa saja mencatat dia akan mewarisi sejarah kakek buyutnya, HOS Tjokroaminoto.
Anak-anak Revolusi
Al adalah anak-anak Revolusi. Anak-anak Revolusi adalah anak-anak yang tumbuh dari bapaknya atau kakek/buyutnya yang menjadi korban politik. Di masa Belanda, anak-anak ini adalah anak-anak yang bapaknya di penjara karena melawan Belanda, di masa Jepang karena melawan Jepang, di masa Orde Lama karena bapak/ibunya di penjara maupun dibunuh Bung Karno.
Di masa Orde Baru adalah anak-anak yang bapak/ibunya dibunuh atau dipenjarakan Suharto, di masa ini mereka adalah anak-anak yang bapaknya dipenjarakan Jokowi karena berbeda pandangan politik.
Menjadi anak-anak revolusi adalah peristiwa berat. Anak-anak itu berkembang dalam ruang kekuasaan yang anti pada kehadirannya. Seorang sahabat senior saya dahulu, alm. Cacuk Sudariyanto, dipecat dari posisinya sebagai dirut Telkom, hanya karena diisukan anak komunis. Padahal peristiwa sesungguhnya dia tidak memenangkan tender seorang anak Suharto. Ketika forum di mana Cacuk maju untuk ketua Alumni ITB, orang-orang berteriak “anak PKI- anak PKI, jangan pilih anak PKI” , pada 1997.
Anak-anak revolusi ini bisa tumbuh dalam pikiran ideologis leluhurnya. Ada yang meneruskan perjuangan Islam, seperti anak Kahar Muzakkar dan menantunya alm. Wahid Kadungga, di Rotterdam, Belanda. Ada juga yang sekedar ingin membalas dendam sejarah.
Namun, yang jelas, anak-anak revolusi ini bukanlah anak-anak pencuri, koruptor atau kriminal. Anak-anak revolusi ini meyakini bahwa kebenaran itu adalah kebenaran versi leluhurnya. Makanya, jangan heran anak-anak eks PKI selalu menuntut pemerintah Indonesia merehabilitasi nama baik leluhurnya.
Dendam
Sejarah Jawa (Nusantara) adalah sejarah penuh dendam. Pramudya Ananta a.l. melukiskannya dalam “Arok Deses” atau kita dapat membaca ceritanya “Game of Thrones Ala Kraton Jawa dan Yogyakarta”. Kekuasaan dan dendam adalah siklus yang terus menerus terturunkan.
Anak-anak orde Sukarno, anak-anak turunan PKI, anak-anak turunan Darul Islam, anak-anak turunan GAM, anak-anak turunan Papua Medeka, anak-anak korban pembunuhan jenderal-jenderal Orde Baru, anak-anak tentara korban pembunuhan PKI, dan anak-anak lainnya tumbuh menghiasi sejarah bangsa ini dengan dendam.
Dendam ini apabila terwujud dalam agenda ideologi dapat menjadi spirit positif bagi perjuangan. Sejarah Khomeini di Iran dan Muammar Khadafi di Libya adalah sejarah “dendam” multi generasi. Namun, jika dendam ini berjalan liar, maka yang berlangsung adalah siklus dendam yang saling menghancurkan. Dan ini buruk buat perjalanan bangsa.
Penutup
Penjara politik tentunya penting ada untuk memelihara stabilitas politik dan kekuasaan. Persoalannya adalah apakah pemenjaraan itu masuk akal atau tidak? Apakah pemenjaraan itu hanya diobral untuk mempertahankan kekuasaanan sich?
Aspek kesejarahan bangsa yang penuh dendam mungkin sebab utama pendiri bangsa menyepakati azas musyawarah untuk mufakat sebagai fundamental kehidupan berbangsa. Kegagalan di masa Orde Baru seharusnya diobati dengan rencana Komisi Rekonsiliasi Nasional paska reformasi. Namun gagal. Jokowi pada 2017 juga ingin menghidupkan Dewan Kerukunan Nasional, namun mangkrak.
Bukannya mengarah pada kerukunan, malah masa rezim Jokowi ini, pemenjaraan politik kelihatannya “over dosis”. Situasi saat ini pemenjaraan politik dianggap suka suka.
Al Gazali tumbuh sebagai anak-anak revolusi. Anak-anak lainnya dari Ustad Tanjung, Buni Yani, Hatta Taliwang, Sri Bintang, dan lainnya akan memupuk benih-benih dendam.
Bagaimana mereka membangun sejarah bangsa ini ke depan? Apakah Al Gazali mampu meneruskan “dendam ideologis” HOS Tjokroaminoto?
Allahua’lam
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle