Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
International Monetary Fund, atau IMF, membuka suara terkait pembiayaan anggaran (APBN) oleh Bank Indonesia (BI). Suara IMF terdengar sangat sopan.
Pertama, IMF mendukung pihak berwenang untuk mengakhiri pembiayaan anggaran dari sektor moneter pada akhir 2022: “The IMF team supports the authorities’ commitment to exit from monetary budget financing by the end-2022 target date …..”
Kata ‘mendukung’ ini perlu dimaknai sebagai peringatan kepada pihak berwenang agar mengakhiri, artinya jangan memperpanjang, pembiayaan anggaran dari Bank Indonesia. Sesuai target waktu yang ditetapkan di dalam UU No 2 Tahun 2020 terkait pandemi Covid-19, yaitu akhir 2022.
Pihak berwenang artinya pemerintah sebagai pembuat UU. Bukan BI. Karena BI hanya menjalankan perintah UU. Meskipun BI tetap bertanggung jawab terhadap jumlah pembiayaan anggaran ‘cetak uang’ melalui pembelian SBN secara langsung (tanpa pasar lelang) di pasar primer, seperti disepakati pada SKB (Surat Keputusan Bersama) I, II dan III.
Kedua, IMF juga memberi rekomendasi agar membatasi pembelian SBN di pasar primer melalui mekanisme pasar (lelang) pada tahun ini (2022), hanya ketika pasar tidak berfungsi baik (tidak bisa menyerap SBN): “The IMF …, … further recommends confining further primary market purchases under the market mechanism this year only to periods of severe market dysfunction.”
Rekomendasi IMF ini pada dasarnya juga peringatan kepada pihak berwenang. IMF terlihat khawatir ‘cetak uang’ oleh Bank Indonesia digunakan untuk pembiayaan anggaran yang tidak bertanggung jawab. Yang seharusnya untuk pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi nasional dialihkan untuk lainnya. Antara lain untuk pembiayaan pembangunan IKN.
Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani secara terbuka. “Anggaran pembangunan IKN tahap pertama bisa diambil dari anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2022.”
Meskipun kemudian dikoreksi. Sri Mulyani mengatakan dengan ringan, kalau tidak boleh ya tidak apa-apa. Setelah yang bersangkutan mendapat protes keras dari berbagai pihak.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyangkal. Menurutnya, tidak ada anggaran pembangunan IKN dari APBN pada tahun 2022. Menteri PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) Basuki Hadimuljono juga menyangkal, sejauh ini belum ada anggaran di PU untuk IKN. Semua kompak mengatakan tidak ada dana PEN atau APBN untuk IKN.
Sri Mulyani tersudutkan. Seperti tidak mengerti bagaimana mengelola APBN. Sampai IMF juga bereaksi dan memberi rekomendasi hentikan pembiayaan anggaran ‘cetak uang’ oleh Bank Indonesia. Bahkan kalau bisa tahun ini juga. Apakah benar Sri Mulyani senaif itu?
Fenomena di atas dapat dilihat dari dua kemungkinan. Pertama, pemerintah memang ingin menggunakan dana APBN, dana PEN 2022, untuk pembangunan IKN. Seperti disampaikan Sri Mulyani kepada publik.
IMF langsung memberi reaksi keras, dikemas sangat sopan. Intinya, pembiayaan anggaran ‘cetak uang’ oleh BI harus digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab. Karena itu, IMF minta pihak berwenang menghentikan ‘cetak uang’, menghentikan pembiayaan anggaran oleh BI.
IMF berkilah, ekonomi Indonesia sudah membaik. Pertumbuhan ekonomi sudah kembali normal. Pemerintah sendiri selalu membanggakan ekonomi yang sudah bangkit ini. Karena itu, pembiayaan anggaran juga harus kembali ke normal. Tanpa ‘cetak uang’. Karena hal ini sangat membahayakan perekonomian nasional.
Dalam hal ini, suara IMF adalah suara rakyat Indonesia. IMF menyuarakan keprihatinan rakyat Indonesia. Atau, sebaliknya. Sri Mulyani mengerti dana PEN tidak boleh digunakan untuk pembangunan IKN. Terlalu bahaya dan melanggar UU. Tetapi yang bersangkutan di bawah tekanan untuk membiayai pembangunan IKN yang baru disahkan.
Karena itu, rencana penggunaan dana PEN tersebut diungkapkan ke publik. Agar IMF (dan publik) memberi respons. Dan membatalkan pembiayaan pembangunan IKN dari APBN. Strategi ini berhasil.
Dalam hal ini, suara IMF dan suara Sri Mulyani mewakilkan suara rakyat, suara keprihatinan rakyat. Dan peringatan terakhir, IMF berharap BI dapat mengantisipasi koreksi kebijakan moneter Amerika Serikat.
IMF menyarankan agar BI membiarkan kurs Rupiah mengalami penyesuaian terhadap pengetatan moneter global. Artinya membiarkan Rupiah melemah. Artinya, tidak perlu intervensi: “In the case of capital outflows, BI should preserve its monetary policy space by allowing the rupiah to absorb the shock first”.
Apakah ini indikasi kurs rupiah memang sudah kemahalan?
[***]