Artikel ini ditulis oleh Syafril Sofyan, pemerhati kebijakan publik, Sekjen FKP2B dan Aktivis Pergerakan 77-78.
ELITE pemerintahan dungu, yang melihat trend remaja Citayam yang nampil fashionable di Jakarta, sebagai ukuran keberhasilan ekonomi.
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan 270 juta penduduk di mana kehidupan mereka mayoritas miskin dan sangat miskin yang hanya bertahan hidup sehari.
Tahun 2018 dalam keadaan normal jumlah rakyat miskin 150,2 juta orang, dengan pendapatan di bawah Rp 30.517 per hari per orang.
Apalagi dalam keadaan dihantam pandemi covid, semakin rakyat miskin banyak kehilangan mata pencarian, di-PHK atau usaha mereka bangkrut selama pandemi.
Dalam kondisi tersebut diperparah ancaman global, perang Ukraina-Rusia, pemerintah Jokowi salah kelola ekonomi, membangun infrastruktur secara ugal-ugalan tanpa kajian dan prioritas hanya bermodalan kepada utang secara luar biasa, tanpa ingat kesulitan Pemerintah mendatang atau kesusahan bagi anak cucu membayar utang.
Dalam kondisi krisis ekonomi memaksa membangun banyak menara gading seperti kereta cepat dan IKN yang sama sekali tidak produktif dan tidak menguntungkan dalam waktu dekat, malah merugi dalam jangka panjang. Hanya menjadi beban APBN.
Elite kekuasaan terlalu sombong dan angkuh menyatakan dalam setiap kesempatan, serta digoreng oleh buzzer sewaan, mengesankan seolah rakyat Indonesia dalam keadaan baik-baik saja.
Style yang ditampilkan sekelompok remaja Citayam secara fashionable di jalanan SCBD Jakarta dijadikan ukuran keberhasilan ekonomi rakyat oleh para petinggi pemerintah. Picik dan dangkal.
Hal tersebut bukan sesuatu yang baru, atau fenomenal. Bisa saja mereka tidak lagi mampu nampil di jalanan karena “tidak mampu” mengeluarkan uang jajan di mall yang sudah serba mahal.
Sementara berbagai kalangan dari dulu termasuk generasi Z sekarang “menampilkan diri” tersebut untuk eksistensi, pengakuan tentang keberadaan mereka. Setidak-tidaknya pengakuan dapat diterima di komunitas mereka sendiri.
Di beberapa daerah budaya masyarakat yang senang nampil gaya itu sudah sejak dulu ada. Di samping unjuk diri menambah kepercayaan diri dan pengakuan. Dengan bergaya dengan barang bermerk berseliweran di mall-mall, kadang bukan berbelanja.
Walau kehidupan ekonomi, keluarga sebagian mereka payah. Tidak sedikit kasus anak “memaksa” orang tuanya untuk menyediakan kebutuhan mereka untuk tampil menarik. Bahkan ada yang menjual diri untuk mendapatkan barang kemewahan, seperti gadget dan lainnya.
Sangat naif jika trend anak muda nampil dijadikan kebanggaan oleh sementara elite untuk menutup kegagalan Pemerintah mengelola Ekonomi, dan mensejahterakan rakyat.
Apalagi dicitrakan oleh para elite pemerintah, sewaktu tampil dalam diskusi publik di televisi.
Mereka berbohong, karena hanya melihat dunia dalam tempurung. Meminjam istilah Rocky Gerung.
Elite kekuasaan mempertontonkan dan memelihara “kedungguan”. Sama sekali tidak empati terhadap beban atau derita rakyat
Kasus tumbangnya Pemerintah Sri Lanka, bukan lagi pelajaran, tapi sangat mungkin terjadi di Indonesia. Karena rakyat sudah bosan dengan janji zonk.
Ibu-ibu sudah sangat menderita dengan semua harga-harga naik. Sementara para pejabat dan anaknya asyik masyuk ber-KKN. Eling.
[***]